Minggu, 29 Maret 2009

Sportivitas

Jangan salahkan sepak bola bila dalam bulan ini banyak karyawan yang

datang ke kantor dengan mata sembap, kekurangan darah seperti vampir

yang sedang diet.

Di sana para bintang dunia di lapangan hijau tengah beraksi, sehingga

teramat sayang untuk dilewatkan. Beruntunglah publik penggila sepak

bola di negeri ini. Semua tontonan gratis, kecuali tentu saja tagihan

listrik yang harus dibayar. Tontonan gratis ini sungguh bernas.

Penonton setia tidak hanya disuguhi permainan atraktif, pergerakan bola

yang fantastis, dan yang terpenting, sikap teladan dari para aktor di

lapangan.

Semua tunduk pada aturan permainan. Ingat penyerang ganteng Italia,

Luca Toni, yang golnya dianulir wasit saat melawan Rumania? Dalam

tayang ulang terlihat jelas bahwa Toni tidak berada dalam posisi

off-side. Artinya, gol itu sah. Coba andai saja Toni berlaku seperti

konstituen yang kalah dalam Pilkada di berbagai daerah. Dapat

diperkirakan, jidat sang wasit benjol kena kepruk. Namun nyatanya

tidak, ia menghormati keputusan wasit meski dengan hati yang dongkol

sebesar telor bebek. Inilah nilai luhur dari olahraga.

Setiap atlet yang bertarung menyerap semangat ini. Mereka menerima

kekalahan, juga menerima kemenangan. Semua sudah terwadahi dalam aturan

permainan. Andai hal itu tak mereka punyai, sangat mungkin pertandingan

sepak bola memakan waktu berjam-jam atau bahkan sehari penuh, karena

tim yang satu tak mau menerima kekalahan. Sepak bola adalah salah satu

warisan besar yang ditemukan manusia. Walau keras, toh semangat

sportivitas adalah segalanya.

Sportivitas pada mulanya memang lebih akrab untuk terminologi olah

raga. Pada hakikatnya, sportif adalah suatu sifat kesatria, mau

mengakui keunggulan pihak lain, menerima kegagalan dan kekalahan,

memahami dan mengerti perbedaan yang muncul, serta menjunjung tinggi

kejujuran dan keadilan. Namun kini, kata 'sportif' digunakan secara

umum, termasuk dalam dunia politik dan juga bisnis.

Tanggal 8 Juni 2008, di Museum Gedung Nasional Amerika, sebuah acara

penting berlangsung. Hillary Clinton, calon presiden dari Partai

Demokrat melakukan pidatonya yang bersejarah di hadapan dua ribu

pendukungnya. Hari itu, untuk pertamakalinya, Hillary Clinton mengakui

kekalahannya dari pesaing utamanya, Barack Obama sebagai nominasi calon

presiden Amerika dari Partai Demokrat. Dalam pidatonya, Hillary

mengatakan, "saya mendukung Obama dan memberikan

dukungan penuh kepadanya. Hari ini, saya mengucapkan selamat kepadanya

atas kemenangannya dan pertarungan luar biasa yang dijalaninya."

Senator Hillary tidak hanya mengakui kekalahannya, tetapi juga

mendukung penuh bagi kandidat presiden Amerika dari Partai Demokrat,

Barack Obama. Hillary menyatakan akan habis-habisan melakukan apa pun

agar Obama terpilih menjadi presiden. Sikap yang ditunjukkan Hillary

patut diacungi jempol. Hillary bukan hanya bersikap sportif, dengan

mengakui kekalahannya, tetapi juga berpikir ke depan untuk secara

bersama-sama dengan Obama, memenangkan pemilu

dari partai yang sama.

Sikap yang ditunjukkan Hillary, tak beda jauh ketika Al Gore kalah

dalam pemilihan presiden melawan penantangnya George W. Bush. Gore

kalah bukan karena telah selesainya hasil perhitungan suara dilakukan.

Mahkamah Agung Amerika akhirnya memutuskan sengketa perhitungan suara

yang terjadi.

Ketika tahu Gore akhirnya kalah dalam pemilihan presiden, dalam

pidatonya, Gore mengatakan bahwa ia baru saja menelepon Bush untuk

menyampaikan bahwa ia menerima kekalahannya dan mengucapkan selamat

atas terpilihnya George W. Bush sebagai Presiden Amerika ke-43. Di

bagian lain pidatonya yang cukup puitis, Gore menyatakan bahwa ia

sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Mahkamah Agung sehari

sebelumnya, yang memenangkan Bush sebagai Presiden, namun dia sangat

menghargai keputusan itu dan menerimanya. Bahkan Gore mengajak segenap

warga Amerika agar bersatu dan bersama-sama berdiri di belakang

presiden baru Amerika. Sungguh, suatu ajakan yang sangat simpatik

melihat betapa kisruh dan tegangnya selama 36 hari terakhir dalam

proses perhitungan suara pemilihan presiden sebelumnya.

Sikap sportif tak hanya berlaku bagi mereka yang kalah dalam suatu

pertarungan, tetapi juga sebaliknya. Anda masih ingat si leher besi

Mike Tyson? Mike Tyson merupakan petinju legendaris di zamannya.

Kemenangan Tyson sebagian besar dilakukan dengan memukul KO lawannya

sebelum pertandingan berakhir. Ketika Tyson menggulung lawan-lawannya,

tak ada apresiasi kemenangan yang gegap gempita dari Tyson. Setelah

meng-KO lawannya, Tyson cukup tenang, datar dan

menghampiri lawannya serta memberikan pelukan persahabatan yang hangat.

Seolah Tyson hendak mengatakan, ini hanyalah sebuah permainan.

Sikap sportif inilah yang harus dikembangkan dalam kehidupan

sehari-hari kita. Baik dalam lingkungan rumah, kantor, dunia bisnis

ataupun dalam dunia politik. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita

tunjukkan dengan bersikap jujur dan terbuka terhadap pasangan dan anak.

Mau menerima masukan, kritik, bahkan dari anak sekalipun. Serta, ini

juga yang penting, mau bertanggung jawab terhadap semua perbuatan yang

dilakukannya. Dalam dunia bisnis misalnya, menerima

kekalahan dalam proses tender. Atau mengakui keunggulan produk pesaing

yang ternyata memang lebih baik dan berkualitas.

Bagaimana dalam dunia kerja? Selalu ada kompetisi dengan aturan main

yang tak seragam di dunia kerja. Mulai dari cara yang paling halus,

hingga yang paling kasar sekalipun. Tetapi tetap saja, dalam menghadapi

kompetisi tersebut, Anda harus bersikap sportif. Sikap sportif dalam

pekerjaan, dapat Anda tunjukkan dalam kerjasama dengan rekan kerja

lainnya. Jangan pernah ragu untuk membantu rekan yang sedang menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan kerja pun, Anda

harus tetap saling menghormati atas setiap perbedaan yang muncul. Sikap

toleransi terhadap sesama rekan

kerja juga harus ditumbuhkan. Sikap ini merupakan bentuk penghargaan

terhadap setiap perbedaan kekuatan dan kelemahan. Diharapkan, dengan

sikap ini mampu menumbuhkan dan menggerakkan sikap sportif rekan kerja

lainnya.

Dengan mengembangkan nilai sportivitas bagi setiap individu, diharapkan

yang muncul adalah pribadi-pribadi yang tangguh. Pribadi yang unggul

dalam menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, keterbukaan dan

kebersamaan dalam kehidupan. Masalah-masalah bangsa ini sesungguhnya

dapat kita atasi secara maksimal dan optimal, bila semua pihak mau

bersikap sportif.

Selasa, 24 Maret 2009

Profesional Tanpa APBD


* : Pemain bintang (timnas) termasuk asing kategori top
** : Pemain kategori lumayan termasuk pemain asing yang belum terkenal
*** : Pemain muda (junior)
**** : Sudah termasuk tiket pesawat dan hotel
----------------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu sekitar bulan November 2007, saya pernah menulis dalam sebuah diskusi dalam sebuah forum bola vaganza tentang kelangsungan hidup sebuah klub sepakbola di Indonesia tanpa bergantung pada dana APBD lagi. Ketika itu memang sedang hangat-hangatnya pembahasan peraturan pemerintah yang melarang klub sepakbola menggunakan dana APBD untuk mengikuti jalannya kompetisi.

Dengan akan digulirkannya Liga Super 21 Juli 2008 mendatang dan diperkirakan berakhir April 2009, yang salah satu persyaratannya klub harus benar-benar professional, yaitu sudah memiliki badan hukum serta ketergantungan terhadap APBD sedapat mungkin dihilangkan. Meskipun ada klub yang masih mengharapkan limpahan dana rakyat tersebut, cara mendapatkannya pun tidak semudah seperti sebelum-sebelumnya.

Berangkat dari sini, saya mencoba mengangkat kembali hitung-hitugan kasar yang pernah saya buat sebelumnya tentang kira-kira berapa besar biaya yang diperlukan sebuah klub untuk mengarungi satu musim kompetisi. Ada beberapa poin yang saya jadikan patokan dalam hitung-hitungan ini. Suatu misal, kontrak pemain lokal dengan label peman nasional saya batasi 800 juta per musimnya. Karena sepengetahuan saya, hanya Bambang Pamungkas dan Ponaryo Astaman yang nilai kontraknya hampir menyentuh nilai 1 miliar. Batasan kontrak 800 juta ini juga berlaku untuk pemain asing dengan label belum “terkenal”. Karena pemain asing dengan nilai kontrak diatas 1 miliar pun bisa dihitung dengan jari.

Kemudian untuk pemain lokal dengan label lumayan bagus, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan 500 juta. Sedangkan untuk pemain yang baru dipromosikan dari tim junior, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan kisaran 300 juta. Perhitungan ini juga melibatkan gaji Manajer tim . Meskipun bagi klub Indonesia, fungsi dari manajer adalah salah satunya mengurusi bonus atau dengan kata lain mental dari para pemain. Namun disini saya ingin mendudukkan, manajer sebagai seorang professional yang mendapatkan gaji dari pelerjaannya, bukan malah jabatan yang harus mengeluarkan uang.

Seperti kita ketahui, jumlah klub yang akan mengikuti Liga Super adalah 18. Dengan menggunakan sistem kompetisi penuh, berarti satu musim sebuah klub akan menjalani 34 pertandingan. Yang mana setengahnya adalah pertandingan tandang. Dengan satu klub mempunyai 23-30 pemain yang dikontrak, saya ambil nilai jumlah rata-ratanya menjadi 25 pemain. Ditambah dengan jajaran manajemen, jumlah yang mengikuti laga away adalah 25. Jajaran manajemen yang dikontrak secara profesional antara lain :
1 orang Pelatih
1 orang Asisten pelatih
1 orang Manajer
1 orang Dokter
1 orang Pemijat
1 orang Pelatih fisik
1 orang Pelatih kiper

Apabila satu musim tim tersebut kita anggap menang terus maka total biaya yang dibutuhkan adalah : 20.816.000.000 . Apabila satu musim tim tersebut seri melulu, biaya yang dikeluarkan menjadi 19.456.000.000 . Jadi sebenarnya dari perhitungan kasar diatas, sebuah klub membutuhkan biaya sekitar 20 miliar untuk operasional dalam satu tahun. Biaya diatas bisa lebih ditekan apabila klub memberlakukan kontrak selama satu musim kompetisi seperti kebanyakan yang dilakukan oleh klub di Indonesia.

Jika ditilik dari jumlah biaya yang harus dikeluarkan memang terlihat begitu besar. Namun memang seperti itu harga yang harus dibayar sebuah klub untuk bisa menjadi profesional. Biaya yang selama ini bisa ditutupi dari kucuran dana APBD harus bisa dicarikan solusi dari sumber dana lainnya. Mengharapkan dana dari sponsor pun tidak semudah membalik telapak tangan, apabila PSSI masih memberlakukan hak eksklusif terhadap Djarum sebagai sponsor utama liga. Disamping itu klub harus mulai pintar untuk bisa menjual segala komoditas yang bisa mendatangkan pemasukan bagi klub. Mulai dari penjualan merchandise sampai dengan meminimalisasi kebocoran hasil penjualan tiket pertandingan.

Jadi dalam hal ini diperlukan sikap legowo dari PSSI untuk membebaskan klub mencari sponsor sendiri tanpa harus dikebiri oleh kebijakan sponsor tunggal. Jika memang klub tidak boleh menggunakan dana APBD untuk operasionalnya. Karena tidak bisa dipungkiri, mayoritas klub yang merupakan eks perserikatan, dengan kata lain dimiliki oleh daerah sangat bergantung pada dana rakyat tersebut. PSSI harus membuat sebuah kebijakan yang disatu sisi mendorong klub untuk mandiri sekaligus membuat aturan yang tidak membatasi gerak klub dalam mencari sponsor.

Fight Against Riot on Football


Kerusuhan mungkin sudah menjadi tradisi di sepak bola Indonesia. Format liga baru dengan title Indonesia Super League (ISL) ternyata belum bisa mengubah mental/kalakuan suporter tanah air ini. Kejadian terakhir yaitu rusuhnya suporter dari Persib Bandung yang dikenal dengan nama Bobotoh/Viking/Boomber. Kenapa suporter kita sering melakukan tindakan-tindakan anarkis dan berakhir dengan kerusuhan.

Alasan yang sering muncul yaitu karena ketidakpuasan karena tim yang di dukung mengalami kekalahan, apalagi di kandang sendiri. Dan, jika
yang mengalahkan itu adalah rival abadinya. Alasan lainnya yaitu loyalitas sebagai suporter. Memang, loyalitas memang diperlukan untuk mendukung tim yang diidolakan, Kepemimpinan wasit yang tidak tegas, dan juga dendam antar kelompok suporter juga menjadi salah satu alasan mengapa sering terjadi kerusuhan di sepak bola.

Tetapi, apakah alasan-alasan seperti itu dibenarkan jika terjadi kerusuhan didalam pertandingan sepak bola? Sebenarnya kerusuhan hanya akan merugikan Klub, suporter secara kelompok, maupun suporter secara individu, dan juga berimbas pada orang lain yang mungkin saja
tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu sendiri. Pertama, klub pasti di denda jika suporternya berbuat rusuh pada saat pertandingan
baik itu denda dalam bentuk uang sampai puluhan juta rupiah, ataupun larangan usiran partai kandang, yang jelas akan mengurangi pendapatan
dari penjualan tiket pertandingan (jika memang komdis bersikap tegas).

Untuk kelompok suporter juga akan mengalami kerugian, seperti pendukung Arema Malang (Aremania) atau pendukung Persib Bandung
(Bobotoh/Viking/Boombers) mereka dlarang masuk keseluruh stadion di Indonesia (antara1 -2 tahun) jika memakai atribut masing2 suporter, bisa dibayangkan jika kita sebagai suporter di hukum seperti itu. Dan selanjutnya untuk sebagai individu jika kita berbuat kerusuhan itu
merupakan sebuah tindakan kriminal dan jelas melanggar hukum, apapun itu alasannya, dan pasti jika kita bertindak melawan hukum, mungkin
kita kita bisa berurusan dengan pihak yang berwajib. Orang lain pun juga bisa kena dampak kerusuhan itu, seperti kejadian di Bandung,
hanya karena pake mobil ber plat-B maka mobil mereka dirusak, walaupun mereka sebenarnya tidak tau menahu. atau warung-warung atau rumah warga yang rusak karena menjadi target pelemparan baru oleh oknum-oknum suporter yang tidak bertanggung jawab. Dan, siapa yang rugi? banyak sekali yang dirugikan karena kerusuhan.

Jika kita bisa berfikir lebih dewasa, maka kita mungkin dan pasti bisa menghindari kerusuhan suporter di dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Apa keuntungan yang bisa kita dapatkan dari berbuat rusuh dan anarki? toh jika kita protes, melempari pemain/wasit/ofisial/kelompok suporter lain tidak akan mengubah hasil, jika tim kita kalah ya tetap kalah, dan ulah yang diperbuat
suporter itu apa akan merubah hasil akhir? apa akan merubah keputusan wasit? tidak akan, malahan kita akan mendapatkan hukuman. Klub-klub besar di eropapun juga sering mengalami kekalahan dikandang.

Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi juara di akhir musim. Jika di eropa sedang dikampanyekan anti rasisme di sepak bola, tapi kita di Indonesia juga harus mengkampanyekan anti kerusuhan di sepakbola, karena masih sering kita lihat terjadinya kerusuhan di sepakbola kita. Jika Aremania merupakan leader kelompok suporter yang atraktif, dan Walaupun tim kebanggaan kita hanya di divisi utama, mari kita jadikan Slemania sebagai leader kelompok suporter yang mengkampanyekan suara perdamaian dan anti kerusuhan.

Kita harus mendukung tim dengan pikiran yang lebih dewasa, kalahkan ego, kita terima dengan lapang dada hasil akhir pertandingan, kita hilangkan yel-yel dan nyanyian provokasi, dan mari kita menjadi suporter yang baik, walaupun kita bukan suporter terbaik. Dengan memulai meneriakkan kedamaian dari bumi Sleman, semoga kerusuhan di
dalam sepakbola Indonesian akan segera menghilang, dan liga di Indonesia benar-benar liga sepakbola yang no anarhcy, no riot, no racism and just football...

Pluralisme Suporter


Image Hosted by ImageShack.us

-----------------------------------------------
Football for Unity, tagline itu sering kita dengar dalam dunia persepakbolaan, dan memang sepakbola adalah sebuah ajang untuk persatuan. Menyatukan 11 orang yang mungkin berbeda jenis, warna kulit, untuk menjadikan sebuah kesebelasan yang solid untuk memperoleh hasil sebuah kemenangan. berbicara sepak bola tentu tidak lepas dengan penonton atau suporter. Tanpa suporter sepakbola akan terasa hambar. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang Suporternya sangat antusias menyaksikan pertandingan Sepakbola yang dimainkan dinegeri ini.

Ada hal yang menarik bagi suporter indonesia. Loyalitas dan dukungan yang diberikan kepada tim sepak bolanya luar biasa. Dan ini sebenarnya modal penting bagi persepakbolaan kita. Hampir setiap daerah mempunyai sebuah Klub sepakbola, dan hampir setiap klub itu mempunyai kelompok suporter, bahkan bukan hanya satu ada beberapa kelompok suporter yang mendukungnya, Secara geografis yang memang berdekatan satu sama lainnya kadang ada sebuah "persaingan" kita sebut saja saja Jogja dan Solo, Jogja dan Sleman, Jakarta dan Bandung, Surabaya dan Malang, dan mungkin ada lagi. Entah faktor apa yang melatar belakangi persaingan antar daerah tersebut.

Yang menarik di indonesia ada seperti sebuah pengkotak kotakan suporter. Blok pertama di wakili dengan Aremania, Pasoepati, The Jak, kemudian yang lainnya Bonek, Viking, Sakera atau lebih dikenal dengan BONVISA. Suka atau tidak memang demikianlah sebenarnya Peta Persuporteran di Indonesia, dan ini membuat setidaknya Stagnasi dalam persepakbolaan kita. Misalnya Bonek bertandang ke Jogja Maka secara Geografis dia akan melewati Solo yang nota bene merupakan "kongsi" Arema dan The Jak dan secara tidak langsung potensi kerusuhan ada. Blok Blok inilah sebenarnya yang menghalangi sebuah kreatifitas suporter untuk mendukung tim - timnya. Tapi ada Suporter yang memang Tidak "tergabung" dalam blok besar itu, Slemania misalnya. Lalu kemudian Suporter semarang (dengan panser dan Snexnya) Lalu singa mania palembang. dan mungkin kelompok suporter lain. Bukan menyepelekan ketiganya dalam Jumlah atau apa sehingga mereka tidak masuk dalam 2 blok tadi akan tetapi memang kenyataan mereka tidak "berafiliasi" dengan blok - blok suporter tadi. Slemania Misalnya, mungkin memang dia bermusuhan dengan Brajamusti, tapi tidak dengan Bonek misalnya.

*) Hubungan Ruwet
Ketidakdewasaan suporter - suporter kita membuat ada semacam gap itu tadi. Padahal sebenarnya secara individu tidak ada permusuhan apa apa tapi ketidakdewasaan kita sering membuat permusuhan itu tetap dipelihara. Seorang Viking pernah bilang, "Anda (Pasoepati) berteman baik dengan The jak, silahkan. saya mengahargai itu karena yang "bermusuhan" adalah Viking dan the Jak. Begitu Pula anda dengan Bonek, Silahkan "bermusuhan" walaupun bonek adalah kawan kami. Pfffffhhhhhh.... Ruwet. Demikian sebuah kata yang bisa menyimpulkannya. Keruwetan Hubungan ini. Mungkin Keruwetan ini juga di tangkap oleh Andi Bahtiar Yususf dalam Film nya yang April nanti bisa kita nikmati di Bioskop. lewat Film Romeo*Juliet. Ucup mengangkat tema tentang percintaan Cewek Viking dan Cowok The jak. Seorang Rekan Wartawan pernah aku tanya Soal Status "ke-suporter-an" ini dan dia menjawab sambil tersenyum " Aku lahir di bandung Berarti aku Viking, Kemudian Kuliah di Jogja Berarti aku brajamusti, lalu kerja di jakarta berarti aku The Jak, dan aku suka sleman berarti aku Slemania" Sebuah jawaban absurd yang mungkin memang seabsurd persepakbolaan dan dunia persuporteran kita.

Baju Suporter sudah dianggap agama bagi mereka yang loyal. dan demi apapun mereka rela membela "agamanya" tapi mereka lupa dalam bangsa yang beragama juga ada sebuah sikap yang disebut sebuah sikap Pluralisme, Tolerasi, dan sikap menghargai. lalu bisakah suporter kita mengahargai kata pluralisme itu tadi. Pluralisme di dalam agama adalah, bukan menyembunyikan Keislaman kita atau kekristenan kita, tapi pluralisme adalah Saya Islam, Anda Kristen , Kalian Hindu. Silahkan jalankan agama kalian masing masing dan mari kita tetap bekerja bersama, bergotong royong, tanpa mengusik ke agamaan kita masing - masing.

Silahkan nikmati Warna klub kalian masing masing, tapi jangan jadikan itu sebuah pelegalan untuk melakukan sebuah tindakan yang disebut dengan perpecahan. Aku bangga dengan hijau ku. Bagai mana dengan anda? Mari jadikan perpaduan warna tim kebangaan kita menjadi Sebuah pelangi cinta untuk kemajuan persepakbolaan Indonesia.

Rabu, 18 Maret 2009

Sepakbola Indonesia

Sepakbola adalah sebuah olahraga permainan yang selalu menarik
dimainkan dan ditonton. Tapi, apa yang telah ditunjukan Timnas
Indonesia pada pertandingan semifinal Piala AFC 2008, telah merusak
konsep dari arti sepakbola. Tim merah Putih yang datang ke Thailand
dengan modal kekalahan 0-1 di leg pertama yang dimainkan di Stadion
Utama Gelora Bung Karno, Selasa (16/12/2008). Pada leg kedua ini,
bearti Indonesia membutuhkan kemenangan minimal 2-0 untuk bisa melaju
ke final. Asa publik Tanah Air segenap membuncak setelah Nova
Arianto sukses memanfaatkan kemelut yang tercipta atelah tendangan
sudut dari Ismed Sofyan, pada menit 9 babak pertama. Unggul 1-0 belum
membuat Indonesia mendapat tiket ke laga pamungkas, dan Charis
Yulianto dkk, mebutuhkan satu gol tambahan untuk menegaskan
keunggulan. Tapi apa lacur. Yang terjadi kemudian adalah sebuah
sirkus sepakbola dan aktor-aktor yang pandai berakting ketimbang
memainkan si kulit bundar. Thailand yang berada dalam situasi
kurang menguntungkan tetap pada ritme permainan cantik ala Premier
League. Tim asuhan Peter Reid ini bermain sabar dalam membongkar
pertahanan Indonesia serta tidak memberikan kesempatan lawan memegang
bola. Di 45 menit babak pertama, Indonesia masih bisa bertahan
dengan ?baik'. Kata baik ini adalah cara bertahan asal-asalan yang
ditunjukan barisan belakang tim asuhan Benny Dollo ini. Setiap
terjadi benturan, pemain Indonesia kerap terjatuh dan cedera. Strategi
ini memang sering diterapkan sebuah tim dalam pertandingan sepakbola,
meskipun itu di level dunia. Tapi, ini baru babak pertama. Sebuah tim
sekelas Italia melakukan akting seperti ini jika pertandingan memasuki
menit akhir, bukan di tengah pertandingan. Sementara Indonesia
sibuk bertahan, Thailand masih dengan kualitas permainan prima.
Puncaknya terjadi di menit 72. Sebuah umpan silang Dangda memanfaatkan
kelengahan sektor kanan pertahanan Indonesia, disambut dengan
tendangan keras Teerathep Winothai. Skor 1-1 sudah cukup bagi Tim
Gajah Putih untuk melaju ke final. Sebaliknya, tugas Indonesia semakin
berat. Mental untuk menang sangat dibutuhkan pada situasi seperti ini.
dan ini yang tidak dimiliki pasukan Merah Putih. Thailand malah
menambah satu gol melalui Ronnachai Rangsiyo, dua menit sebelum
bubaran. Habis sudah kesempatan Indonesia mencicipi partai final Piala
AFF. Kekalaha ini terjadi bukan karena permainan Thailand yang
istimewa, melainkan cara bermain Indonesia yang salah.
Sudah lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana
sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan,
dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban
itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil,
Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak
pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.
Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun
sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan
yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya
mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih
berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur
atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI
selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur
dimaksud. Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan
barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook,
atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya
popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator.
Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola
secara teoritis dan analitis. Sebab itu, seperti halnya sebuah
kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus
menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat
jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan
jujur, bertahap dan hidup. Untuk membangun kultur sepakbola
itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula.
Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya
akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih
baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa
rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan
sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan
ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil,
Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi
juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri. Dalam konteks kecil dan
lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya
telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal
yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS
termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM
Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM
Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya. Namun, meski muda, PSS
mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat
sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti
sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan,
kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di
Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua
divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah
PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA. Maka, tak pelak lagi, PSS
kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di
Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan
mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan
jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.
Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah
bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar,
atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya
untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari
kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi.
Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan
pembina #terlihat begitu tinggi. Meski belum optimal, PSS
akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS
sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi
langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper
Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih
memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran
elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI). Perjalanan PSS yang
membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu
terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun
1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS
bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini
berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di
kompetisi-kompetisi sebelumnya. Dengan kata lain, PSS mengorbit di
Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses
panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola
akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan
yang mengandalkan ketebalan duit. Dan memang benar, setelah
bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru
yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di
Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya.
Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan
M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan
pemain berpengaruh dalam tim. Pada penampilan perdananya,
PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan,
PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1. Bahkan,
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada
di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada
Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan,
“Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita.”
Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa)
kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo. Saat itu, Ibnu Subianto
menjawab, “Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga
hitam.” Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan.
Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih
mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu.
Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini
menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat
tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya
karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi
korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di
urutan pertama. Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan
Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya
kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu
tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu
kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS
sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang. Pembinaan
sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu
berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.
Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup
kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi.
Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI. Apa
yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di
Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di
kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan
sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran
jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki
ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di
Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup
kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau
Persebaya. Semoga!PRIDE PSS 1976

Bebaskan Sepakbola Dari Dunia Politik

Sebagai orang yang kalau di luar negeri saya sangat membangga-banggakan demokrasi di Indonesia, saya agak kecewa dengan larangan sepak bola selama masa pemilu legislatif. Kesannya, larangan itu seperti membenarkan bahwa sebenarnya Indonesia ternyata belum siap dengan demokrasi.

Larangan sepak bola itu, menurut pendapat saya, menjadi salah satu cacat demokrasi kita. Seolah-olah kita tidak bisa melakukan pemilu kalau masih ada sepak bola. Artinya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih ada catatannya. Demokrasi dengan catatan.

Saya yakin, penyebabnya adalah kurang gigihnya pengurus sepak bola dalam memperjuangkan dirinya. Pada masa lalu, ketika demokrasi belum sehebat dan sedewasa sekarang, sepak bola bisa berjalan lancar. Mengapa kian lama justru kian ada masalah?

Memang masalahnya, antara lain, juga ada di sepak bola sendiri. Pertama, sepak bola sudah sangat berbau politik. Pengurus sepak bola juga memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan politiknya. Pemilihan pengurus sepak bola memakai pertimbangan politik juga.

Kedua, kerusuhan-kerusuhan sepak bola tidak segera diatasi oleh masyarakat sepak bola sendiri. Tidak ada pemikiran yang mendasar untuk menyelesaikan persoalan itu.

Ketiga, tidak ada usulan yang baik kepada pihak keamanan agar pertandingan sepak bola tetap berjalan tanpa harus mengganggu jalannya pemilu.

Saya tidak tahu apakah organisasi sepak bola internasional membolehkan larangan bertanding oleh penyebab politik seperti itu. Seharusnya organisasi sepak bola internasional juga ikut menekan pemerintah Indonesia untuk tidak mudah membatalkan jadwal kompetisi dengan alasan yang kurang masuk akal. Bisa saja pengurus sepak bola Indonesia minta tolong pengurus internasional untuk perjuangannya itu.

Tapi, ya sudahlah. Larangan sudah keluar. Pengurus sepak bola sendiri juga sudah menerima larangan itu. Maka, sudah nasib sepak bola untuk sulit diperjuangkan menjadi olahraga yang punya masa depan yang gemilang. Kalau jadwal kompetisi saja bisa diintervensi demikian jauhnya, bagaimana semangat untuk bersepak bola bisa terus berkembang?

Mengurus sebuah klub sepak bola tidak gampang. Biayanya besar, tenaganya besar, dan tekanan batinnya juga dalam. Molornya jadwal berarti juga menggelembungnya dana.

Di lain pihak, kalau kita ingin bisa dikatakan semakin dewasa, pemisahan politik dari kehidupan di luarnya harus semakin nyata. Kini, antara politik dan bisnis sudah kian terpisah. Politik dan tentara sudah terpisah jauh. Kok malah politik dan sepak bola masih berhubungan begitu kentalnya.

Maka, seruan yang harus lantang diteriakkan adalah: bebaskan sepak bola dari politik!