Selasa, 24 Maret 2009

Profesional Tanpa APBD


* : Pemain bintang (timnas) termasuk asing kategori top
** : Pemain kategori lumayan termasuk pemain asing yang belum terkenal
*** : Pemain muda (junior)
**** : Sudah termasuk tiket pesawat dan hotel
----------------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu sekitar bulan November 2007, saya pernah menulis dalam sebuah diskusi dalam sebuah forum bola vaganza tentang kelangsungan hidup sebuah klub sepakbola di Indonesia tanpa bergantung pada dana APBD lagi. Ketika itu memang sedang hangat-hangatnya pembahasan peraturan pemerintah yang melarang klub sepakbola menggunakan dana APBD untuk mengikuti jalannya kompetisi.

Dengan akan digulirkannya Liga Super 21 Juli 2008 mendatang dan diperkirakan berakhir April 2009, yang salah satu persyaratannya klub harus benar-benar professional, yaitu sudah memiliki badan hukum serta ketergantungan terhadap APBD sedapat mungkin dihilangkan. Meskipun ada klub yang masih mengharapkan limpahan dana rakyat tersebut, cara mendapatkannya pun tidak semudah seperti sebelum-sebelumnya.

Berangkat dari sini, saya mencoba mengangkat kembali hitung-hitugan kasar yang pernah saya buat sebelumnya tentang kira-kira berapa besar biaya yang diperlukan sebuah klub untuk mengarungi satu musim kompetisi. Ada beberapa poin yang saya jadikan patokan dalam hitung-hitungan ini. Suatu misal, kontrak pemain lokal dengan label peman nasional saya batasi 800 juta per musimnya. Karena sepengetahuan saya, hanya Bambang Pamungkas dan Ponaryo Astaman yang nilai kontraknya hampir menyentuh nilai 1 miliar. Batasan kontrak 800 juta ini juga berlaku untuk pemain asing dengan label belum “terkenal”. Karena pemain asing dengan nilai kontrak diatas 1 miliar pun bisa dihitung dengan jari.

Kemudian untuk pemain lokal dengan label lumayan bagus, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan 500 juta. Sedangkan untuk pemain yang baru dipromosikan dari tim junior, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan kisaran 300 juta. Perhitungan ini juga melibatkan gaji Manajer tim . Meskipun bagi klub Indonesia, fungsi dari manajer adalah salah satunya mengurusi bonus atau dengan kata lain mental dari para pemain. Namun disini saya ingin mendudukkan, manajer sebagai seorang professional yang mendapatkan gaji dari pelerjaannya, bukan malah jabatan yang harus mengeluarkan uang.

Seperti kita ketahui, jumlah klub yang akan mengikuti Liga Super adalah 18. Dengan menggunakan sistem kompetisi penuh, berarti satu musim sebuah klub akan menjalani 34 pertandingan. Yang mana setengahnya adalah pertandingan tandang. Dengan satu klub mempunyai 23-30 pemain yang dikontrak, saya ambil nilai jumlah rata-ratanya menjadi 25 pemain. Ditambah dengan jajaran manajemen, jumlah yang mengikuti laga away adalah 25. Jajaran manajemen yang dikontrak secara profesional antara lain :
1 orang Pelatih
1 orang Asisten pelatih
1 orang Manajer
1 orang Dokter
1 orang Pemijat
1 orang Pelatih fisik
1 orang Pelatih kiper

Apabila satu musim tim tersebut kita anggap menang terus maka total biaya yang dibutuhkan adalah : 20.816.000.000 . Apabila satu musim tim tersebut seri melulu, biaya yang dikeluarkan menjadi 19.456.000.000 . Jadi sebenarnya dari perhitungan kasar diatas, sebuah klub membutuhkan biaya sekitar 20 miliar untuk operasional dalam satu tahun. Biaya diatas bisa lebih ditekan apabila klub memberlakukan kontrak selama satu musim kompetisi seperti kebanyakan yang dilakukan oleh klub di Indonesia.

Jika ditilik dari jumlah biaya yang harus dikeluarkan memang terlihat begitu besar. Namun memang seperti itu harga yang harus dibayar sebuah klub untuk bisa menjadi profesional. Biaya yang selama ini bisa ditutupi dari kucuran dana APBD harus bisa dicarikan solusi dari sumber dana lainnya. Mengharapkan dana dari sponsor pun tidak semudah membalik telapak tangan, apabila PSSI masih memberlakukan hak eksklusif terhadap Djarum sebagai sponsor utama liga. Disamping itu klub harus mulai pintar untuk bisa menjual segala komoditas yang bisa mendatangkan pemasukan bagi klub. Mulai dari penjualan merchandise sampai dengan meminimalisasi kebocoran hasil penjualan tiket pertandingan.

Jadi dalam hal ini diperlukan sikap legowo dari PSSI untuk membebaskan klub mencari sponsor sendiri tanpa harus dikebiri oleh kebijakan sponsor tunggal. Jika memang klub tidak boleh menggunakan dana APBD untuk operasionalnya. Karena tidak bisa dipungkiri, mayoritas klub yang merupakan eks perserikatan, dengan kata lain dimiliki oleh daerah sangat bergantung pada dana rakyat tersebut. PSSI harus membuat sebuah kebijakan yang disatu sisi mendorong klub untuk mandiri sekaligus membuat aturan yang tidak membatasi gerak klub dalam mencari sponsor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar