Rabu, 10 Juni 2009

DELTAMANIA MOGOK MAKAN

Sidoarjo - Klubnya terdegradasi, beberapa pendukung Deltras Sidoarjo menggelar aksi mogok makan di Paseban Pendopo, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 3 Juni silam. Mereka hendak mempertanggungjawaban pengurus.

Suporter Deltras mengaku kecewa dengan Ketua Deltras yang juga Bupati Sidoarjo, Win Hendarso. Win dinilai tidak berbuat banyak untuk meningkatkan prestasi klub kebanggaan Sidoarjo tersebut.

Di bawah kendali Win Hendarso, Deltras memang kerap dilanda konflik manajeman. Hal itulah yang dianggap pendukung Deltras sebagai kunci ketidak nyamanan para pemain.

Memang, Deltras masih ada sisa satu pertandingan lagi melawan PSM Makassar. Namun Deltras dipastikan terdegradasi karena berada di peringkat ketiga dari bawah.

HIDUP INI BERNAMA SEPAKBOLA

“Masalah rumput tidak usah dibesar-besarkan,” ujar seorang Presiden sebuah partai politik terkemuka. Pernyataan ini keluar saat Jakarta gempar akibat rusaknya lapangan stadion paling terhormat di Republik ini. Stadion yang pernah menggelar Asian Games, GANEFO, Sea Games, PON dan pernah mengundang decak kagum David Platt, gelandang tim nasional Inggris era awal 1990an “Bermain di stadion sebesar dan semegah ini, membuat saya merasa sangat bangga, pengalaman tak terhingga,”

“Football is my religion, The Valley is my church!” tulis kaos berwarna merah milik saya itu, kaos yang saya beli tak jauh dari markas stadion Charlton Athletic yang bernama The Valley itu menggambarkan seperti apa arti stadion bagi para pencinta sepakbola. “Saya tahu persis bagaimana mengurus rumput, karena saya memiliki pengalaman tentang rumput,” ujar si Presiden tadi semakin menyebalkan banyak orang yang membaca komentarnya. Pemahamannya pada arti kata “sepakbola” sangat rendah dan mengecewakan banyak orang.

“Sepakbola memperkenalkan kami pada dunia,”ujar Nenad Basovic seorang penulis asal Kroasia merujuk pada permainan yang telah melambungkan popularitas nama negara mereka di peta dunia. Kroasia adalah sebuah negara yang lahir di pertengahan era 90an, tak ada yang benar-benar tahu dimana letak negara itu kecuali para anggota pasukan keamanan PBB yang datang mengamankan perang saudara di kawasan itu. “Negeri kami terlalu kecil untuk bisa dikenali oleh warga dunia,” ujar Zvonimir Boban saat mereka berhasil menjadi juara ketiga Piala Dunia 1998 yang kemudian membuat nama negeri ini menjadi sangat dikenal.

Sepakbola telah mengubah pendapat orang terhadap Kroasia, negara ini hanya berpopulasi 4,49 juta jiwa ini, jumlah yang tentu saja masih dibawah rata-rata jumlah penduduk tiap propinsi di Indonesia. Tapi, sepakbola telah membuat mereka jadi dikenal, bahkan kaos tim nasional kotak-kotak yang mereka banggakan biasa dilihat dipakai di jalan-jalan kota besar maupun kecil di Indonesia. Sebaliknya Indonesia, matinya prestasi tim nasional membuat kita seolah lenyap dari peta dunia.

“Stadion Bung Karno itu stadion kebanggaan kita, stadion yang lapangannya dipakai buat main sepakbola, gak bisa dong seenak-enaknya aja diinjak-injak oleh massa partai politik,” ujar Ferry Indrasjarief, asisten manajer Persija. Tentu ia merasa kesal dan sangat dirugikan, tim yang dibinanya harus menerima kenyataan tidak bisa bermain di Jakarta. Kaki-kaki tak bermoral itu memang tidak hanya menginjak lapangan hijau di Stadion yang masih memegang rekor dunia jumlah penonton untuk level pertandingan amatir ini, tapi juga telah sukses merusak dan menghancurkannya.

Sepakbola adalah permainan kelas pekerja, mereka yang tanpa sadar membutuhkan representasi diri. Jangan heran jika permainan ini selalu menjadi simbol identitas atau bahkan perlawanan. Lahirnya AC Milan adalah jawaban pada arogansi Inter Milan, munculnya Manchester United adalah penolakan terhadap klub pemerintah bernama Manchester City sampai munculnya Arema adalah jawaban terhadap ketidak puasan pada plat merah bernama Persema.

“Persib adalah hargai diri saya dan jika harus menghitung untung dan rugi pada sebuah dukungan, maka dukungan itu menjadi tidak murni lagi,” tegas Ayi Beutik, Panglima Viking, kelompok supporter Persib Bandung yang bahkan memberi nama putra sulungnya dengan nama “Jayalah Persibku”. Ayi sama sekali tidak konyol, bagi saya ia adalah seorang patriot yang rela mengorbankan apa saja yang ia punya demi nama tim kesayangannya. Hal yang juga banyak dilakukan oleh banyak orang di belahan dunia lainnya.

Jadi “Ini bukan cuma masalah rumput!” karena rumput yang hancur diinjak-injak oleh para partisan partai yang masih sangat bisa kita perdebatkan rasa cintanya pada partai yang bersangkutan itu bukan rumput di depan rumah Gubernur, rumput tetangga saya, rumput yang terletak di dekat sawah Pak Tani ataupun rumput rumah saya yang memang sudah botak. Para partisan musiman itu telah menghancurkan rumput Stadion Bung Karno yang tentu saja punya nilai sangat berbeda dengan rumput-rumput lainnya.

“Dalam waktu dua atau tiga hari, rumput itu akan tumbuh sendiri, asal disiangi dengan benar,” ujar sang Presiden lagi. Benar jika kejadiannya terjadi di halaman rumah saya ataupun di dekat sawah Pak Tani tadi, tapi rumput lapangan sepakbola memiliki kondisi yang sangat jauh berbeda dan saya yakin saya tidak perlu menjelaskan bagaimana rumput di stadion-stadion di Amerika Serikat harus disiangi selama beberapa bulan dan bahkan diimport agar pelaksanaan Piala Dunia 1994 bisa berjalan dengan mulus.

Rumput ini bukan sekedar urusan tanaman, tapi menyangkut harga diri sebuah bangsa. Jika Stadion Kanjuruhan adalah kebanggaan Aremania, Stadion Siliwangi adalah kebanggaan Bobotoh dan lain sebagainya, maka Bung Karno adalah kebanggaan Indonesia. Merusaknya sama saja melukai hati jutaan warga Indonesia yang rela menyanyikan lagu Indonesia Raya sepenuh hati tanpa paksaan sebelum tim nasional berlaga. “Mereka yang tidak mengerti sepakbola adalah mereka tanpa hati nurani,” jelas Johan Cruijjf legenda sepakbola asal Belanda.

“Persib telah memberi saya segalanya,” tegas Ayi Beutik lagi. Segalanya yang bisa berarti jauh lebih berharga dari segala yang ia miliki di dunia ini. Lagi-lagi Ayi tidak sendirian, karena terlalu banyak sosok sepertinya yang menganggap bahwa sepakbola adalah ciptaan tertinggi manusia. Jika Eropa mengakomodir sikap fanatisme ini dengan sebuah konstruksi bisnis yang luar biasa maka Indonesia masih meresponnya dengan cara yang relatif primitif.

Di Eropa, rasa cinta mereka pada sepakbola dijawab dengan struktur kompetisi yang ketat, model bisnis yang dahsyat sampai berbagai produk turunan yang bermuara pada satu kata, sepakbola. Lihat bagaimana Chelsea memutar bisnisnya, mulai dari hotel, apartemen, kasino, restoran, museum sampai toko merchandise menjadi bagian bisnis miliaran poundsterling milik mereka. Jika Anda memperhatikan bagaimana roda sepakbola Eropa berjalan, Anda tentu akan melihat kenyataan bahwa basis fanatisme ini telah berkembang pesat menjadi sebuah lahan bisnis luar biasa.

Saya tentu tidak akan menyalahkan si Presiden partai politik tadi, ia bisa jadi lebih suka main catur daripada sepakbola. Bisa jadi ia tidak pernah berkeliling Indonesia dan melihat keadaan kota yang mendadak bisa sepi saat pertandingan sepakbola berjalan, stadion-stadion yang penuh sesak lengkap dengan segala euforianya, orang-orang yang kemudian menjadi pemimpin sebuah kota hanya karena ia “mendukung” sepakbola sampai perkelahian yang kerap mewarnai para pendukung sepakbola akibat eksistensi mereka dihalangi oleh pendukung tim lawannya.
DI BOLAVAGANZA EDISI MEI 2009

Bisa jadi pak Presiden parpol ini merasa bahwa para pendukung sepakbola hanyalah segerombolan pengangguran yang kerjannya hanya berkelahi. Sehingga baginya rumput yang adalah modal awal dari sebuah kompetisi ini dianggap tidak penting karena hanya akan menjadi awal dari kegiatan yang berpotensi kekerasan. Padahal, tanyakan pada para pendukung sepakbola semiskin apapun dia….saya menjamin mereka datang ke stadion tanpa iming-iming lembar rupiah, sebaliknya mereka datang dengan ketulusan mendukung dan berharap timnya mampu memenangkan pertandingan. Dalam skala lebih besar lagi, kita semua datang ke Stadion Bung Karno untuk melihat tim Merah Putih menaklukkan lawannya.

Jika benar rumput itu menjadi tidak penting, maka saya percaya bahkan pihak keamananpun akan memiliki cukup nyali untuk terus mengamankan sepakbola. Tanpa rasa was was, pihak keamanan akan melakukan apapun untuk mencegah mereka yang ingin bertindak rusuh karena sepakbola agar bisa mengurungkan niatnya. Jika saja pihak keamanan punya pendapat yang sama dengan si Presiden tadi, saya yakin film saya Romeo Juliet akan tetap tayang di Bandung pada waktunya, karena pihak keamanan tidak akan kehilangan nyalinya pada para perusuh sepakbola itu saat mereka mengancam akan melakukan kekerasan jika film ini tetap tayang pada waktunya.

Minggu, 07 Juni 2009

IKRAR SUPORTER DAMAI

Ikrar Damai Suporter SAMARINDA - Asosiasi Suporter (AS) Kaltim menjadi penggerak. Mereka memelopori kelompok suporter klub yang berlaga di delapan besar grup K, Pusamania (Persisam Putra), Mitman (Mitra Kukar), dan suporter Persebaya ditambah suporter asal Balikpapan, Persiba Fans Club (PFC), mengucapkan ikrar damai selama perhelatan delapan besar berlangsung di Samarinda.

'Komitmen bersama kami adalah menjaga pertandingan tetap berlangsung aman dan damai. Biar saja pemain yang ribut di lapangan karena itu merupakan dinamika pertandingan. Tapi, yang terpenting suporter harus tetap bersatu,' tegas Tommy Ermanto Pasemah, ketua AS Kaltim.

Ikrar damai dilakukan sebelum laga Persisam Putra kontra Mitra dua hari lalu. Ditandai dengan pembagian syal secara bergantian oleh semua kelompok suporter.

Karena ikrar damai itulah, meski Pusamania dan Mitman sempat saling mengejek saat pertandingan, setelah pertandingan mereka tetap akur. 'Dengan kesepakatan damai ini, paling tidak nama Kaltim juga bagus di mata nasional. Sebab, babak delapan besar tak hanya penting bagi klub yang bertanding, tapi juga sangat penting bagi provinsi kita karena kepercayaan sebagai penyelenggara pertandingan harus diimbagi dengan keamangan selama pertandingan berlangsung, mulai awal hingga akhir,' tegas Tommy.

THE JAK DAN NJ TAWURAN DI MALANG

Malang - Ratusan suporter Persija Jakarta (Jakmania) dan Persitara Jakarta Utara (NJ), Sabtu (6/6) siang, terlibat tawuran di perempatan Jalan Semeru dan Bromo, Kota Malang atau sekitar 100 meter dari Stadion Gajayana, tempat dihelatnya pertandingan "derby" Jakarta tersebut.

Pada pukul 12.00 WIB, sekitar 300 suporter Persitara Jakarta Utara tiba di Stasiun KA Kotabaru Malang, kemudian diangkut kendaraan menuju Stadion Gajayana melalui "jalan tikus" karena di Jalan Tugu ditutup total.

Begitu sampai di perempatan Jalan Bromo-Semeru, tiba-tiba puluhan The Jakmania melempari suporter Persitara Jakarta Utara dengan batu berbagai ukuran dan terjadilah saling lempar antarsuporter yang sama-sama berasal dari Jakarta itu.

"Kami tidak tahu kenapa The Jakmania tiba-tiba melempari kami dengan batu. Kami berupaya menghindar tapi mereka tetap mengejar kami hingga di kawasan Stadion Gajayana," kata Koordinator NJ, Umar.

Sementara dari pihak Jakmania belum ada yang berkomentar.

Karena terjadi lemparan-lemparan batu yang cukup membahayakan, arus lalu lintas di Jalan Semeru dialihkan dan ditutup total, sedangkan aparat kepolisian yang semula mengamankan kirap Piala Adipura Kota Malang, akhirnya berhamburan menuju lokasi tawuran.

Setelah dilerai puluhan aparat kepolisian, kedua suporter asal Jakarta itu dievakuasi ke tempat yang berbeda. Suporter Persija Jakarta ditempatkan di sisi timur stadion dan suporter Persitara Jakarta Utara diangkut mobil polisi untuk ditempatkan di sisi barat stadion.

Kepala Samapta Polresta Malang AKP Susanto mengakui ada kejadian saling lempar antara pendukung The jakmania dengan NJ dari Jakarta Utara, namun tidak sampai ada yang terluka.

"Sekarang mereka sudah kami pisah dan NJ sudah kami evakuasi ke sisi barat stadion," katanya.

Pertandingan Persija Jakarta yang menggunakan "home base" di Stadion Gajayana Malang, menjamu tim satu wilayah, Persitara Jakarta Utara digelar Sabtu (6/6) malam.

Persija Jakarta masih menyisakan satu pertandingan lagi yang menggunakan Stadion Gajayana sebagai "home base"-nya yakni menjamu Persib Bandung.

SUPORTER TERTEMBAK

Lamongan: Seorang pendukung Persitara Jakarta Utara, tertembak di rahangnya saat terjadi bentrokan sebelum dimulainya pertandingan antara Persitara melawan Persib Bandung, di Lamongan, Jawa Timur, Selasa (2/6). Pendukung Persitara yang bernama Danang, kini dirawat di Rumah Sakit Sugiri, Lamongan, Jawa Timur. Sebutir peluru masih bersarang di rahang Danang.

Sebelumnya Danang beserta puluhan pendukung Persitara lainnya berniat mendukung tim kesayangannya, saat menjamu Persib Bandung di Stadion Surajaya, Lamongan. Namun terjadi bentrokan antar kelompok suporter yang tidak menggunakan atribut. Akibatnya, selain ditembaki dengan senapan angin, Danang dan teman-temannya juga dilempari batu, ketika melintas di daerah Rajawali Selatan, Jawa Timur.

Danang pun harus menjalani operasi, untuk mengeluarkan peluru di rahangnya. Rencananya, setelah menjalani visum, Danang akan melaporkan peristiwa tersebut kepada petugas kepolisian setempat.

Senin, 18 Mei 2009

Gotong Royong Bangun Stadion

Berlin - Para fans Union Berlin akan menatap musim depan dengan sumringah. Tidak hanya karena mereka promosi ke Divisi 2, tetapi juga karena mereka punya stadion baru yang mereka bangun sendiri.

Bukan baru dalam arti benar-benar baru, sebetulnya. Tetapi berkat semangat gotong royong yang mereka perlihatkan, mereka sukses merenovasi Stadion An der Alten Forsterei, kandang mereka selama ini.

Krisis ekonomi yang tak luput menghantam klub-klub di divisi bawah ternyata tak mengalangi militansi pendukung Union. Ratusan orang secara sukarela bekerja membangun stadion ini sejak Juni tahun lalu.

Setelah melalui perjalanan melelahkan, termasuk persoalan hukum serta ancaman kebankrutan, Presiden Union Dirk Zingler setahun lalu akhirnya mengumumkan renovasi Alten Forestei disetujui otoritas.

Para sukarelawan itu memberikan waktu luang mereka, peralatan, bahan bangunan dan pengalaman mereka. Secara total, komitmen dari para fans dalam bentuk kerja dan sumber daya bernilai 5,5 juta euro (Rp 77,5 miliar).

Rinciannya, pengerjaan stadion yang kapasitasnya dinaikkan jadi 20.500 kursi itu telah menyedot 75 ribu jam kerja berharga 2 juta euro. Sedangkan sumbangan material, peralatan dan tenaga kerja berharga 2,5 juta euro.

Jumlah mereka yang bersedia bekerja juga terus bekerja. Dari awalnya cuma ratusan orang, jumlah pekerja sekarang mencapai 1.600 orang yang bekerja di bawah enam orang pengawas profesional. Setiap hari, 30-100 orang bekerja sama. Kemajuan pekerjaan itu diumumkan melalui sebuah log di situs mereka.

Stadion ini direncanakan akan siap untuk dipakai pertama kalinya pada 8 Juli depan. Untuk inaugurasi, pertandingan persahabatan melawan klub sekota, Hertha Berlin, diagendakan. Seluruh sukarelawan bakal masuk stadion dengan gratis.

"Respons dari para pendukung sangat menakjubkan. Semua orang menghabiskan liburan serta waktu luang mereka di sini. Yang lain datang pada akhir pekan, lalu para pelajar bekerja saat liburan semester. Benar-benar menakjubkan," girang jubir Union, Christian Arbeit, kepada Reuters.

Sementara stadion mereka yang terletak di tengah hutan itu direnovasi, Union mennumpang di Stadion Friedrich Ludwig Jahn Sportpark milik rival sekota, Dynamo Berlin.

Akhir pekan lalu, konvoy 250-an mobil berlangsung di Jahn Sportpark ketika Union mengalahkan Regensburg 2-0 untuk memastikan promosi ke Bundesliga 2. Mereka menuju ke Alten Forsterei untuk berpesta.

"Klub kita, stadion kita, lapangan kita, The Alten Forsterei!" seru mereka.

Sabtu, 09 Mei 2009

BERUNTUNGLAH SEPAKBOLA INDONESIA

Pasukan pemerintah El Salvador memasuki perbatasan Honduras karena sepakbola. Seorang suami menembak mati istrinya karena sepakbola di Bucharest. Seorang pria memuncratkan isi kepalanya dengan sebuah peluru karena sepakbola di Buenos Aires. Ribuan supporter Liverpool membantai tifosi Juventus atas nama sepakbola di Brussels. Di jalan raya Istambul, pendukung Galatasaray memukuli dan menikam mati dua pendukung Leeds United karena sepakbola. Di alun-alun kota Roma, seorang wanita memamerkan buah dada dan kemaluannya karena sepakbola. Sementara itu di Jakarta, seorang pria menceraikan istrinya juga karena sepakbola.

Kaget? Jangan dulu karena misteri sepakbola juga merambah jauh sampai ke Indonesia. Jangan dulu bangga jika sudah merasa menjadi penggila sepakbola. Berkoleksi segala pernik sepakbola, menonton seluruh pertandingan yang disiarkan TV swasta, rajin datang ke acara nonton bareng di kafe-kafe. Apalagi kalau cuma rutin main sepakbola baik di lapangan killer maupun senayan, itu bukan jaminan bahwa Anda adalah seorang maniak sepakbola.
Anda boleh saja merasa sudah gila pada sepakbola ketika seluruh nama pemain di liga terkemuka Eropa dan Amerika Latin terhafal di luar kepala. Wallpaper dan screensaver di komputer laptop bergambarkan bintang-bintang dunia, atau mungkin Anda selalu membawa sepatu bola kemana-mana..

Tapi, pernahkah Anda kabur dari meeting, mengundurkan diri dari kantor atau memutuskan pacar Anda karena sepakbola. Kalau komentar Anda adalah “Hanya gara-gara sepakbola kok bisa jadi kayak begitu?” terhadap contoh soal diatas, maka Anda belum layak dikatakan sebagai seorang penggila sepakbola

“Sepakbola adalah hidup, jadi supporter itu juga pilihan hidup,” ujar Heru Joko seorang pendukung fanatik klub Persib Bandung. Ia tentu saja tidak mencoba untuk meniru Bill Shankly yang menganggap “Sepakbola adalah lebih dari sekedar hidup!” Baginya menjadi pendukung sebuah tim sepakbola berarti juga menyerahkan diri, jiwa dan raga pada kebesaran tim itu.
“Saya dan teman-teman mah kecil, Persib yang besar…tanpa Persib kami bukan apa-apa,” ujar pria berkacamata yang mengaku hanya mengenal satu warna dalam hidupnya, Biru. Warna khas Persib Bandung.

“Kalau Persib menang, Bandung berubah jadi Europe!” jelas Ayi Beutik, pentolan supporter Persib Bandung lainnya. Lelaki berusia 38 tahun ini mengaku meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang staf ahli pemetaan untuk menjadi pendukung Persib Bandung. “Hampir seluruh belahan Indonesia pernah saya datangi, tapi setiap mendengar Persib main, rasanya hati ini maunya pulang aja mendukung Persib,” jelas Beutik yang mengenakan kaos kaki sepakbola warna biru di hari pernikahannya.

Totalitas pria bernama asli Suparman ini semakin dibuktikan dengan pemberian nama Jayalah Persibku pada putra pertamanya. “Nama itu sebetulnya doa buat Persib, waktu itu khan Persib nyaris degradasi, rasanya mau nangis ngeliat kondisi Persib saat itu,” di saat Jayalah Persibku lahir, Persib memang tengah berada di zona degradasi Liga Indonesia.

Beutik pun tidak main-main pada nama putranya. Buatnya, putranya yang biasa ia panggil Jaya boleh memilih apapun yang ia mau “Mau jadi artis, mau jadi Presiden, mau jadi penjahat, pokoknya terserah, yang penting dia harus dukung Persib!!!” tegas pria ini tentang putra pertamanya yang sudah mampu melafalkan “Wasit Goblog!!!” di usianya yang ke 8 bulan.
Irlan adalah contoh lain kegilaan pada sepakbola nasional. Aktifis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengaku telah menyerahkan hidupnya di jalan agama. “Tapi seperti rasul, jalan agama bukan berarti harus melupakan dunia. Artinya gue gak mungkin meninggalkan Persija,” tukas pria berusia 30 tahun yang mengaku hanya mempunya tiga hal penting dalam hidupnya “PKS, Persija dan Manchester United!!!”

Pria keturunan Arab ini adalah salah satu contoh supporter fanatik dari klub Persija Jakarta. Kehidupan sehari-harinya dijalani sebagai seorang pegawai di restoran waralaba asing. Ia pun dikenal sebagai seorang da’i sekaligus kader dari PKS yang dikenal sebagai partai islam berbasiskan pengajian-pengajian. Tapi jika sudah turun di stadion, Irlan bagai berubah total. “Kalau tim kita main, gak ada supporter lawan boleh rese’!” tegasnya.

Lalu apa jadinya jika ada yang rese’? Tentu saja Irlan akan berdiri paling depan menghantam lawan, jika perlu sampai terkapar kelojotan. Jika Anda ingat peristiwa pelemparan terhadap bus sebuah tim lawan di pengkolan Pasar Jum’at, pria inilah yang berdiri paling depan dengan batu terbesar. Tentu saja pria ini—dengan bentuk fisiknya yang khas—cukup populer baik di kalangan aparat, preman stadion maupun kelompok supporter lawan.

“Sepakbola selalu memberikan harapan, maka dari itu kami mencintai sepakbola karena kami mencintai harapan,” ujar Ferry Indrasjarief pentolan kelompok supporter Persija. Jalan hidup pria yang akan berusia 39 tahun ini sangat jelas, jika ‘Dangdut is the music of my country’ maka baginya ‘Persija is the music of my heart!’ Apapun yang dilakukan, klub kesayangannya tersebut selalu mendapat tempat paling utama.

Ia terhitung orang yang cukup gila di kantornya. Bayangkan saja, jika sebuah pertandingan tandang di Tangerang akan dimulai pada pukul 15.30 maka ia sudah keluar dari kantor pada pukul 10.00. Bahkan jika pertandingan kandang yang akan dilakoni, paling lambat pukul 14.30 ia sudah melarikan diri dari kantornya, padahal di kantor tersebut ia cuma seorang pegawai bukan komisaris.

“Kalau harus milih antara kerja atau Persija, gue akan pilih Persija,” tegas pria yang enggan mengaku lahir di Bandung ini. Baginya, hidup selalu akan menemukan jalannya, dan baginya Persija adalah salah satu jalan itu. Bagaimana dengan pacar? Pria yang masih betah melajang ini (itu pun menurutnya karena kesibukannya mendukung Persija-red) menyatakan agak ragu, walau tanpa didesak ia menegaskan “Masak sih gue gak bisa ajak cewek gue ke stadion nonton Persija?”

Mungkin lucu melihat kenyataan betapa fanatiknya banyak orang Indonesia pada sepakbola nasional. Fanatisme luar biasa yang bahkan sampai rela mengorbankan jiwa dan raga “Bagimu Persib jiwa raga kami!!!” adalah semboyan partisan pendukung Persib. Bagi mereka, fanatisme pada Persib adalah harga mati “Siapapun yang menghadang laju Persib harus dibasmi, supporter lawan yang menghadang juga harus dihalau,” ujar Beutik. Ucapan tersebut pun mendapat amin yang positif dari banyak kelompok supporter lain.

Anda tidak usah heran jika melihat pendukung sebuah tim berkelahi dengan pendukung tim lawannya. Bagi mereka sepakbola bukan cuma olahraga, sepakbola adalah soal harga diri yang harus dijaga, rasa cinta pada tanah kelahiran yang musti dijunjung atau sikap patriotisme yang harus dibusungkan ketika menghadapi lawan.

Jangan sinis dan menganggap gila dulu pada orang-orang ini. Jika Anda lebih sering menyaksikan AC Milan, Real Madrid atau Manchester United tanpa pernah menyaksikan tim dari negeri sendiri (atau bahkan tim nasional Indonesia). Anda bisa saja merasa lucu melihat fenomena ini. Tanpa prestasi internasional, tanpa permainan yang memikat atau tanpa daya tarik seorang David Beckham, tapi kok mau-maunya fanatik pada sebuah tim.

Jika pun Anda punya cukup nyali untuk menyatakan langsung pada mereka bahwa kegilaan mereka pada sepakbola nasional bersifat ganjil, jangan pula melakukannya. Anda bisa saja malah dibilang aneh, karena di Eropa, Amerika Latin atau negara manapun dimana sepakbola berada, kegilaan dan fanatisme memiliki banyak sekali kesamaan.

Lebih baik Anda tanyakan pada Robbie Williams kenapa mereka bisa begitu mencintai klub Port Vale yang entah tahun berapa terakhir kali bisa berlaga di Divisi Utama. Atau Noel dan Liam Gallagher yang sangat mencintai Manchester City yang jelas saja kalah mentereng dibanding dengan tetangganya Manchester United. Jawabannya hanya ada di dalam hati, tak peduli tim kesayangan tak mampu berprestasi internasional, fanatisme dan kecintaan pada klub takkan pernah lekang.

“Persija sampai gue mati,” ujar Ferry. Atau tetap mempertaruhkan sejumlah uang pada Persib walau lawan yang akan dihadapi adalah AC Milan di musim panas 1994.





(andibachtiaryusuf)

Sabtu, 02 Mei 2009

ELANG JAWA

Elang Jawa merupakan satwa langka dan hanya bisa ditemui di pulau Jawa. Burung yang menjadi cikal bakal Lambang Negara kita ini (Burung Garuda), kini terancam punah, sehingga sudah sulit ditemui di alam liar (habitatnya). Terancamnya Elang Jawa dari kepunahan menurut beberapa pihak disebabkan oleh karena habitatnya yang semakin berkurang akibat pembalakan liar dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Juga maraknya perdagangan satwa langka yang dihargai cukup tinggi di pasar gelap telah memicu perburuan liar terhadap elang jawa.


Dengan ini dibutuhkan minimal 2 orang untuk tim monitoring elang jawa bersama dengan Yayasan Kutilang dan LSM yang akan release pada bulan Mei - Juni tiap hari Rabu dan Minggu. Dengan fasilitas penggantian transport dan makan. Untuk pendaftaran bisa dilakukan di Sekretariat Slemania, Kompleks Stadion Tridadi (sayap barat) Sleman.

Minggu, 29 Maret 2009

Sportivitas

Jangan salahkan sepak bola bila dalam bulan ini banyak karyawan yang

datang ke kantor dengan mata sembap, kekurangan darah seperti vampir

yang sedang diet.

Di sana para bintang dunia di lapangan hijau tengah beraksi, sehingga

teramat sayang untuk dilewatkan. Beruntunglah publik penggila sepak

bola di negeri ini. Semua tontonan gratis, kecuali tentu saja tagihan

listrik yang harus dibayar. Tontonan gratis ini sungguh bernas.

Penonton setia tidak hanya disuguhi permainan atraktif, pergerakan bola

yang fantastis, dan yang terpenting, sikap teladan dari para aktor di

lapangan.

Semua tunduk pada aturan permainan. Ingat penyerang ganteng Italia,

Luca Toni, yang golnya dianulir wasit saat melawan Rumania? Dalam

tayang ulang terlihat jelas bahwa Toni tidak berada dalam posisi

off-side. Artinya, gol itu sah. Coba andai saja Toni berlaku seperti

konstituen yang kalah dalam Pilkada di berbagai daerah. Dapat

diperkirakan, jidat sang wasit benjol kena kepruk. Namun nyatanya

tidak, ia menghormati keputusan wasit meski dengan hati yang dongkol

sebesar telor bebek. Inilah nilai luhur dari olahraga.

Setiap atlet yang bertarung menyerap semangat ini. Mereka menerima

kekalahan, juga menerima kemenangan. Semua sudah terwadahi dalam aturan

permainan. Andai hal itu tak mereka punyai, sangat mungkin pertandingan

sepak bola memakan waktu berjam-jam atau bahkan sehari penuh, karena

tim yang satu tak mau menerima kekalahan. Sepak bola adalah salah satu

warisan besar yang ditemukan manusia. Walau keras, toh semangat

sportivitas adalah segalanya.

Sportivitas pada mulanya memang lebih akrab untuk terminologi olah

raga. Pada hakikatnya, sportif adalah suatu sifat kesatria, mau

mengakui keunggulan pihak lain, menerima kegagalan dan kekalahan,

memahami dan mengerti perbedaan yang muncul, serta menjunjung tinggi

kejujuran dan keadilan. Namun kini, kata 'sportif' digunakan secara

umum, termasuk dalam dunia politik dan juga bisnis.

Tanggal 8 Juni 2008, di Museum Gedung Nasional Amerika, sebuah acara

penting berlangsung. Hillary Clinton, calon presiden dari Partai

Demokrat melakukan pidatonya yang bersejarah di hadapan dua ribu

pendukungnya. Hari itu, untuk pertamakalinya, Hillary Clinton mengakui

kekalahannya dari pesaing utamanya, Barack Obama sebagai nominasi calon

presiden Amerika dari Partai Demokrat. Dalam pidatonya, Hillary

mengatakan, "saya mendukung Obama dan memberikan

dukungan penuh kepadanya. Hari ini, saya mengucapkan selamat kepadanya

atas kemenangannya dan pertarungan luar biasa yang dijalaninya."

Senator Hillary tidak hanya mengakui kekalahannya, tetapi juga

mendukung penuh bagi kandidat presiden Amerika dari Partai Demokrat,

Barack Obama. Hillary menyatakan akan habis-habisan melakukan apa pun

agar Obama terpilih menjadi presiden. Sikap yang ditunjukkan Hillary

patut diacungi jempol. Hillary bukan hanya bersikap sportif, dengan

mengakui kekalahannya, tetapi juga berpikir ke depan untuk secara

bersama-sama dengan Obama, memenangkan pemilu

dari partai yang sama.

Sikap yang ditunjukkan Hillary, tak beda jauh ketika Al Gore kalah

dalam pemilihan presiden melawan penantangnya George W. Bush. Gore

kalah bukan karena telah selesainya hasil perhitungan suara dilakukan.

Mahkamah Agung Amerika akhirnya memutuskan sengketa perhitungan suara

yang terjadi.

Ketika tahu Gore akhirnya kalah dalam pemilihan presiden, dalam

pidatonya, Gore mengatakan bahwa ia baru saja menelepon Bush untuk

menyampaikan bahwa ia menerima kekalahannya dan mengucapkan selamat

atas terpilihnya George W. Bush sebagai Presiden Amerika ke-43. Di

bagian lain pidatonya yang cukup puitis, Gore menyatakan bahwa ia

sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Mahkamah Agung sehari

sebelumnya, yang memenangkan Bush sebagai Presiden, namun dia sangat

menghargai keputusan itu dan menerimanya. Bahkan Gore mengajak segenap

warga Amerika agar bersatu dan bersama-sama berdiri di belakang

presiden baru Amerika. Sungguh, suatu ajakan yang sangat simpatik

melihat betapa kisruh dan tegangnya selama 36 hari terakhir dalam

proses perhitungan suara pemilihan presiden sebelumnya.

Sikap sportif tak hanya berlaku bagi mereka yang kalah dalam suatu

pertarungan, tetapi juga sebaliknya. Anda masih ingat si leher besi

Mike Tyson? Mike Tyson merupakan petinju legendaris di zamannya.

Kemenangan Tyson sebagian besar dilakukan dengan memukul KO lawannya

sebelum pertandingan berakhir. Ketika Tyson menggulung lawan-lawannya,

tak ada apresiasi kemenangan yang gegap gempita dari Tyson. Setelah

meng-KO lawannya, Tyson cukup tenang, datar dan

menghampiri lawannya serta memberikan pelukan persahabatan yang hangat.

Seolah Tyson hendak mengatakan, ini hanyalah sebuah permainan.

Sikap sportif inilah yang harus dikembangkan dalam kehidupan

sehari-hari kita. Baik dalam lingkungan rumah, kantor, dunia bisnis

ataupun dalam dunia politik. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita

tunjukkan dengan bersikap jujur dan terbuka terhadap pasangan dan anak.

Mau menerima masukan, kritik, bahkan dari anak sekalipun. Serta, ini

juga yang penting, mau bertanggung jawab terhadap semua perbuatan yang

dilakukannya. Dalam dunia bisnis misalnya, menerima

kekalahan dalam proses tender. Atau mengakui keunggulan produk pesaing

yang ternyata memang lebih baik dan berkualitas.

Bagaimana dalam dunia kerja? Selalu ada kompetisi dengan aturan main

yang tak seragam di dunia kerja. Mulai dari cara yang paling halus,

hingga yang paling kasar sekalipun. Tetapi tetap saja, dalam menghadapi

kompetisi tersebut, Anda harus bersikap sportif. Sikap sportif dalam

pekerjaan, dapat Anda tunjukkan dalam kerjasama dengan rekan kerja

lainnya. Jangan pernah ragu untuk membantu rekan yang sedang menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan kerja pun, Anda

harus tetap saling menghormati atas setiap perbedaan yang muncul. Sikap

toleransi terhadap sesama rekan

kerja juga harus ditumbuhkan. Sikap ini merupakan bentuk penghargaan

terhadap setiap perbedaan kekuatan dan kelemahan. Diharapkan, dengan

sikap ini mampu menumbuhkan dan menggerakkan sikap sportif rekan kerja

lainnya.

Dengan mengembangkan nilai sportivitas bagi setiap individu, diharapkan

yang muncul adalah pribadi-pribadi yang tangguh. Pribadi yang unggul

dalam menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, keterbukaan dan

kebersamaan dalam kehidupan. Masalah-masalah bangsa ini sesungguhnya

dapat kita atasi secara maksimal dan optimal, bila semua pihak mau

bersikap sportif.

Selasa, 24 Maret 2009

Profesional Tanpa APBD


* : Pemain bintang (timnas) termasuk asing kategori top
** : Pemain kategori lumayan termasuk pemain asing yang belum terkenal
*** : Pemain muda (junior)
**** : Sudah termasuk tiket pesawat dan hotel
----------------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu sekitar bulan November 2007, saya pernah menulis dalam sebuah diskusi dalam sebuah forum bola vaganza tentang kelangsungan hidup sebuah klub sepakbola di Indonesia tanpa bergantung pada dana APBD lagi. Ketika itu memang sedang hangat-hangatnya pembahasan peraturan pemerintah yang melarang klub sepakbola menggunakan dana APBD untuk mengikuti jalannya kompetisi.

Dengan akan digulirkannya Liga Super 21 Juli 2008 mendatang dan diperkirakan berakhir April 2009, yang salah satu persyaratannya klub harus benar-benar professional, yaitu sudah memiliki badan hukum serta ketergantungan terhadap APBD sedapat mungkin dihilangkan. Meskipun ada klub yang masih mengharapkan limpahan dana rakyat tersebut, cara mendapatkannya pun tidak semudah seperti sebelum-sebelumnya.

Berangkat dari sini, saya mencoba mengangkat kembali hitung-hitugan kasar yang pernah saya buat sebelumnya tentang kira-kira berapa besar biaya yang diperlukan sebuah klub untuk mengarungi satu musim kompetisi. Ada beberapa poin yang saya jadikan patokan dalam hitung-hitungan ini. Suatu misal, kontrak pemain lokal dengan label peman nasional saya batasi 800 juta per musimnya. Karena sepengetahuan saya, hanya Bambang Pamungkas dan Ponaryo Astaman yang nilai kontraknya hampir menyentuh nilai 1 miliar. Batasan kontrak 800 juta ini juga berlaku untuk pemain asing dengan label belum “terkenal”. Karena pemain asing dengan nilai kontrak diatas 1 miliar pun bisa dihitung dengan jari.

Kemudian untuk pemain lokal dengan label lumayan bagus, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan 500 juta. Sedangkan untuk pemain yang baru dipromosikan dari tim junior, nilai kontraknya saya batasi sampai dengan kisaran 300 juta. Perhitungan ini juga melibatkan gaji Manajer tim . Meskipun bagi klub Indonesia, fungsi dari manajer adalah salah satunya mengurusi bonus atau dengan kata lain mental dari para pemain. Namun disini saya ingin mendudukkan, manajer sebagai seorang professional yang mendapatkan gaji dari pelerjaannya, bukan malah jabatan yang harus mengeluarkan uang.

Seperti kita ketahui, jumlah klub yang akan mengikuti Liga Super adalah 18. Dengan menggunakan sistem kompetisi penuh, berarti satu musim sebuah klub akan menjalani 34 pertandingan. Yang mana setengahnya adalah pertandingan tandang. Dengan satu klub mempunyai 23-30 pemain yang dikontrak, saya ambil nilai jumlah rata-ratanya menjadi 25 pemain. Ditambah dengan jajaran manajemen, jumlah yang mengikuti laga away adalah 25. Jajaran manajemen yang dikontrak secara profesional antara lain :
1 orang Pelatih
1 orang Asisten pelatih
1 orang Manajer
1 orang Dokter
1 orang Pemijat
1 orang Pelatih fisik
1 orang Pelatih kiper

Apabila satu musim tim tersebut kita anggap menang terus maka total biaya yang dibutuhkan adalah : 20.816.000.000 . Apabila satu musim tim tersebut seri melulu, biaya yang dikeluarkan menjadi 19.456.000.000 . Jadi sebenarnya dari perhitungan kasar diatas, sebuah klub membutuhkan biaya sekitar 20 miliar untuk operasional dalam satu tahun. Biaya diatas bisa lebih ditekan apabila klub memberlakukan kontrak selama satu musim kompetisi seperti kebanyakan yang dilakukan oleh klub di Indonesia.

Jika ditilik dari jumlah biaya yang harus dikeluarkan memang terlihat begitu besar. Namun memang seperti itu harga yang harus dibayar sebuah klub untuk bisa menjadi profesional. Biaya yang selama ini bisa ditutupi dari kucuran dana APBD harus bisa dicarikan solusi dari sumber dana lainnya. Mengharapkan dana dari sponsor pun tidak semudah membalik telapak tangan, apabila PSSI masih memberlakukan hak eksklusif terhadap Djarum sebagai sponsor utama liga. Disamping itu klub harus mulai pintar untuk bisa menjual segala komoditas yang bisa mendatangkan pemasukan bagi klub. Mulai dari penjualan merchandise sampai dengan meminimalisasi kebocoran hasil penjualan tiket pertandingan.

Jadi dalam hal ini diperlukan sikap legowo dari PSSI untuk membebaskan klub mencari sponsor sendiri tanpa harus dikebiri oleh kebijakan sponsor tunggal. Jika memang klub tidak boleh menggunakan dana APBD untuk operasionalnya. Karena tidak bisa dipungkiri, mayoritas klub yang merupakan eks perserikatan, dengan kata lain dimiliki oleh daerah sangat bergantung pada dana rakyat tersebut. PSSI harus membuat sebuah kebijakan yang disatu sisi mendorong klub untuk mandiri sekaligus membuat aturan yang tidak membatasi gerak klub dalam mencari sponsor.

Fight Against Riot on Football


Kerusuhan mungkin sudah menjadi tradisi di sepak bola Indonesia. Format liga baru dengan title Indonesia Super League (ISL) ternyata belum bisa mengubah mental/kalakuan suporter tanah air ini. Kejadian terakhir yaitu rusuhnya suporter dari Persib Bandung yang dikenal dengan nama Bobotoh/Viking/Boomber. Kenapa suporter kita sering melakukan tindakan-tindakan anarkis dan berakhir dengan kerusuhan.

Alasan yang sering muncul yaitu karena ketidakpuasan karena tim yang di dukung mengalami kekalahan, apalagi di kandang sendiri. Dan, jika
yang mengalahkan itu adalah rival abadinya. Alasan lainnya yaitu loyalitas sebagai suporter. Memang, loyalitas memang diperlukan untuk mendukung tim yang diidolakan, Kepemimpinan wasit yang tidak tegas, dan juga dendam antar kelompok suporter juga menjadi salah satu alasan mengapa sering terjadi kerusuhan di sepak bola.

Tetapi, apakah alasan-alasan seperti itu dibenarkan jika terjadi kerusuhan didalam pertandingan sepak bola? Sebenarnya kerusuhan hanya akan merugikan Klub, suporter secara kelompok, maupun suporter secara individu, dan juga berimbas pada orang lain yang mungkin saja
tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu sendiri. Pertama, klub pasti di denda jika suporternya berbuat rusuh pada saat pertandingan
baik itu denda dalam bentuk uang sampai puluhan juta rupiah, ataupun larangan usiran partai kandang, yang jelas akan mengurangi pendapatan
dari penjualan tiket pertandingan (jika memang komdis bersikap tegas).

Untuk kelompok suporter juga akan mengalami kerugian, seperti pendukung Arema Malang (Aremania) atau pendukung Persib Bandung
(Bobotoh/Viking/Boombers) mereka dlarang masuk keseluruh stadion di Indonesia (antara1 -2 tahun) jika memakai atribut masing2 suporter, bisa dibayangkan jika kita sebagai suporter di hukum seperti itu. Dan selanjutnya untuk sebagai individu jika kita berbuat kerusuhan itu
merupakan sebuah tindakan kriminal dan jelas melanggar hukum, apapun itu alasannya, dan pasti jika kita bertindak melawan hukum, mungkin
kita kita bisa berurusan dengan pihak yang berwajib. Orang lain pun juga bisa kena dampak kerusuhan itu, seperti kejadian di Bandung,
hanya karena pake mobil ber plat-B maka mobil mereka dirusak, walaupun mereka sebenarnya tidak tau menahu. atau warung-warung atau rumah warga yang rusak karena menjadi target pelemparan baru oleh oknum-oknum suporter yang tidak bertanggung jawab. Dan, siapa yang rugi? banyak sekali yang dirugikan karena kerusuhan.

Jika kita bisa berfikir lebih dewasa, maka kita mungkin dan pasti bisa menghindari kerusuhan suporter di dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Apa keuntungan yang bisa kita dapatkan dari berbuat rusuh dan anarki? toh jika kita protes, melempari pemain/wasit/ofisial/kelompok suporter lain tidak akan mengubah hasil, jika tim kita kalah ya tetap kalah, dan ulah yang diperbuat
suporter itu apa akan merubah hasil akhir? apa akan merubah keputusan wasit? tidak akan, malahan kita akan mendapatkan hukuman. Klub-klub besar di eropapun juga sering mengalami kekalahan dikandang.

Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi juara di akhir musim. Jika di eropa sedang dikampanyekan anti rasisme di sepak bola, tapi kita di Indonesia juga harus mengkampanyekan anti kerusuhan di sepakbola, karena masih sering kita lihat terjadinya kerusuhan di sepakbola kita. Jika Aremania merupakan leader kelompok suporter yang atraktif, dan Walaupun tim kebanggaan kita hanya di divisi utama, mari kita jadikan Slemania sebagai leader kelompok suporter yang mengkampanyekan suara perdamaian dan anti kerusuhan.

Kita harus mendukung tim dengan pikiran yang lebih dewasa, kalahkan ego, kita terima dengan lapang dada hasil akhir pertandingan, kita hilangkan yel-yel dan nyanyian provokasi, dan mari kita menjadi suporter yang baik, walaupun kita bukan suporter terbaik. Dengan memulai meneriakkan kedamaian dari bumi Sleman, semoga kerusuhan di
dalam sepakbola Indonesian akan segera menghilang, dan liga di Indonesia benar-benar liga sepakbola yang no anarhcy, no riot, no racism and just football...

Pluralisme Suporter


Image Hosted by ImageShack.us

-----------------------------------------------
Football for Unity, tagline itu sering kita dengar dalam dunia persepakbolaan, dan memang sepakbola adalah sebuah ajang untuk persatuan. Menyatukan 11 orang yang mungkin berbeda jenis, warna kulit, untuk menjadikan sebuah kesebelasan yang solid untuk memperoleh hasil sebuah kemenangan. berbicara sepak bola tentu tidak lepas dengan penonton atau suporter. Tanpa suporter sepakbola akan terasa hambar. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang Suporternya sangat antusias menyaksikan pertandingan Sepakbola yang dimainkan dinegeri ini.

Ada hal yang menarik bagi suporter indonesia. Loyalitas dan dukungan yang diberikan kepada tim sepak bolanya luar biasa. Dan ini sebenarnya modal penting bagi persepakbolaan kita. Hampir setiap daerah mempunyai sebuah Klub sepakbola, dan hampir setiap klub itu mempunyai kelompok suporter, bahkan bukan hanya satu ada beberapa kelompok suporter yang mendukungnya, Secara geografis yang memang berdekatan satu sama lainnya kadang ada sebuah "persaingan" kita sebut saja saja Jogja dan Solo, Jogja dan Sleman, Jakarta dan Bandung, Surabaya dan Malang, dan mungkin ada lagi. Entah faktor apa yang melatar belakangi persaingan antar daerah tersebut.

Yang menarik di indonesia ada seperti sebuah pengkotak kotakan suporter. Blok pertama di wakili dengan Aremania, Pasoepati, The Jak, kemudian yang lainnya Bonek, Viking, Sakera atau lebih dikenal dengan BONVISA. Suka atau tidak memang demikianlah sebenarnya Peta Persuporteran di Indonesia, dan ini membuat setidaknya Stagnasi dalam persepakbolaan kita. Misalnya Bonek bertandang ke Jogja Maka secara Geografis dia akan melewati Solo yang nota bene merupakan "kongsi" Arema dan The Jak dan secara tidak langsung potensi kerusuhan ada. Blok Blok inilah sebenarnya yang menghalangi sebuah kreatifitas suporter untuk mendukung tim - timnya. Tapi ada Suporter yang memang Tidak "tergabung" dalam blok besar itu, Slemania misalnya. Lalu kemudian Suporter semarang (dengan panser dan Snexnya) Lalu singa mania palembang. dan mungkin kelompok suporter lain. Bukan menyepelekan ketiganya dalam Jumlah atau apa sehingga mereka tidak masuk dalam 2 blok tadi akan tetapi memang kenyataan mereka tidak "berafiliasi" dengan blok - blok suporter tadi. Slemania Misalnya, mungkin memang dia bermusuhan dengan Brajamusti, tapi tidak dengan Bonek misalnya.

*) Hubungan Ruwet
Ketidakdewasaan suporter - suporter kita membuat ada semacam gap itu tadi. Padahal sebenarnya secara individu tidak ada permusuhan apa apa tapi ketidakdewasaan kita sering membuat permusuhan itu tetap dipelihara. Seorang Viking pernah bilang, "Anda (Pasoepati) berteman baik dengan The jak, silahkan. saya mengahargai itu karena yang "bermusuhan" adalah Viking dan the Jak. Begitu Pula anda dengan Bonek, Silahkan "bermusuhan" walaupun bonek adalah kawan kami. Pfffffhhhhhh.... Ruwet. Demikian sebuah kata yang bisa menyimpulkannya. Keruwetan Hubungan ini. Mungkin Keruwetan ini juga di tangkap oleh Andi Bahtiar Yususf dalam Film nya yang April nanti bisa kita nikmati di Bioskop. lewat Film Romeo*Juliet. Ucup mengangkat tema tentang percintaan Cewek Viking dan Cowok The jak. Seorang Rekan Wartawan pernah aku tanya Soal Status "ke-suporter-an" ini dan dia menjawab sambil tersenyum " Aku lahir di bandung Berarti aku Viking, Kemudian Kuliah di Jogja Berarti aku brajamusti, lalu kerja di jakarta berarti aku The Jak, dan aku suka sleman berarti aku Slemania" Sebuah jawaban absurd yang mungkin memang seabsurd persepakbolaan dan dunia persuporteran kita.

Baju Suporter sudah dianggap agama bagi mereka yang loyal. dan demi apapun mereka rela membela "agamanya" tapi mereka lupa dalam bangsa yang beragama juga ada sebuah sikap yang disebut sebuah sikap Pluralisme, Tolerasi, dan sikap menghargai. lalu bisakah suporter kita mengahargai kata pluralisme itu tadi. Pluralisme di dalam agama adalah, bukan menyembunyikan Keislaman kita atau kekristenan kita, tapi pluralisme adalah Saya Islam, Anda Kristen , Kalian Hindu. Silahkan jalankan agama kalian masing masing dan mari kita tetap bekerja bersama, bergotong royong, tanpa mengusik ke agamaan kita masing - masing.

Silahkan nikmati Warna klub kalian masing masing, tapi jangan jadikan itu sebuah pelegalan untuk melakukan sebuah tindakan yang disebut dengan perpecahan. Aku bangga dengan hijau ku. Bagai mana dengan anda? Mari jadikan perpaduan warna tim kebangaan kita menjadi Sebuah pelangi cinta untuk kemajuan persepakbolaan Indonesia.

Rabu, 18 Maret 2009

Sepakbola Indonesia

Sepakbola adalah sebuah olahraga permainan yang selalu menarik
dimainkan dan ditonton. Tapi, apa yang telah ditunjukan Timnas
Indonesia pada pertandingan semifinal Piala AFC 2008, telah merusak
konsep dari arti sepakbola. Tim merah Putih yang datang ke Thailand
dengan modal kekalahan 0-1 di leg pertama yang dimainkan di Stadion
Utama Gelora Bung Karno, Selasa (16/12/2008). Pada leg kedua ini,
bearti Indonesia membutuhkan kemenangan minimal 2-0 untuk bisa melaju
ke final. Asa publik Tanah Air segenap membuncak setelah Nova
Arianto sukses memanfaatkan kemelut yang tercipta atelah tendangan
sudut dari Ismed Sofyan, pada menit 9 babak pertama. Unggul 1-0 belum
membuat Indonesia mendapat tiket ke laga pamungkas, dan Charis
Yulianto dkk, mebutuhkan satu gol tambahan untuk menegaskan
keunggulan. Tapi apa lacur. Yang terjadi kemudian adalah sebuah
sirkus sepakbola dan aktor-aktor yang pandai berakting ketimbang
memainkan si kulit bundar. Thailand yang berada dalam situasi
kurang menguntungkan tetap pada ritme permainan cantik ala Premier
League. Tim asuhan Peter Reid ini bermain sabar dalam membongkar
pertahanan Indonesia serta tidak memberikan kesempatan lawan memegang
bola. Di 45 menit babak pertama, Indonesia masih bisa bertahan
dengan ?baik'. Kata baik ini adalah cara bertahan asal-asalan yang
ditunjukan barisan belakang tim asuhan Benny Dollo ini. Setiap
terjadi benturan, pemain Indonesia kerap terjatuh dan cedera. Strategi
ini memang sering diterapkan sebuah tim dalam pertandingan sepakbola,
meskipun itu di level dunia. Tapi, ini baru babak pertama. Sebuah tim
sekelas Italia melakukan akting seperti ini jika pertandingan memasuki
menit akhir, bukan di tengah pertandingan. Sementara Indonesia
sibuk bertahan, Thailand masih dengan kualitas permainan prima.
Puncaknya terjadi di menit 72. Sebuah umpan silang Dangda memanfaatkan
kelengahan sektor kanan pertahanan Indonesia, disambut dengan
tendangan keras Teerathep Winothai. Skor 1-1 sudah cukup bagi Tim
Gajah Putih untuk melaju ke final. Sebaliknya, tugas Indonesia semakin
berat. Mental untuk menang sangat dibutuhkan pada situasi seperti ini.
dan ini yang tidak dimiliki pasukan Merah Putih. Thailand malah
menambah satu gol melalui Ronnachai Rangsiyo, dua menit sebelum
bubaran. Habis sudah kesempatan Indonesia mencicipi partai final Piala
AFF. Kekalaha ini terjadi bukan karena permainan Thailand yang
istimewa, melainkan cara bermain Indonesia yang salah.
Sudah lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana
sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan,
dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban
itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil,
Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak
pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.
Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun
sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan
yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya
mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih
berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur
atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI
selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur
dimaksud. Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan
barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook,
atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya
popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator.
Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola
secara teoritis dan analitis. Sebab itu, seperti halnya sebuah
kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus
menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat
jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan
jujur, bertahap dan hidup. Untuk membangun kultur sepakbola
itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula.
Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya
akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih
baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa
rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan
sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan
ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil,
Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi
juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri. Dalam konteks kecil dan
lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya
telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal
yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS
termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM
Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM
Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya. Namun, meski muda, PSS
mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat
sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti
sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan,
kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di
Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua
divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah
PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA. Maka, tak pelak lagi, PSS
kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di
Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan
mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan
jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.
Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah
bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar,
atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya
untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari
kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi.
Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan
pembina #terlihat begitu tinggi. Meski belum optimal, PSS
akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS
sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi
langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper
Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih
memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran
elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI). Perjalanan PSS yang
membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu
terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun
1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS
bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini
berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di
kompetisi-kompetisi sebelumnya. Dengan kata lain, PSS mengorbit di
Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses
panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola
akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan
yang mengandalkan ketebalan duit. Dan memang benar, setelah
bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru
yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di
Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya.
Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan
M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan
pemain berpengaruh dalam tim. Pada penampilan perdananya,
PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan,
PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1. Bahkan,
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada
di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada
Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan,
“Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita.”
Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa)
kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo. Saat itu, Ibnu Subianto
menjawab, “Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga
hitam.” Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan.
Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih
mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu.
Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini
menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat
tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya
karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi
korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di
urutan pertama. Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan
Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya
kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu
tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu
kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS
sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang. Pembinaan
sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu
berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.
Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup
kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi.
Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI. Apa
yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di
Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di
kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan
sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran
jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki
ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di
Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup
kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau
Persebaya. Semoga!PRIDE PSS 1976

Bebaskan Sepakbola Dari Dunia Politik

Sebagai orang yang kalau di luar negeri saya sangat membangga-banggakan demokrasi di Indonesia, saya agak kecewa dengan larangan sepak bola selama masa pemilu legislatif. Kesannya, larangan itu seperti membenarkan bahwa sebenarnya Indonesia ternyata belum siap dengan demokrasi.

Larangan sepak bola itu, menurut pendapat saya, menjadi salah satu cacat demokrasi kita. Seolah-olah kita tidak bisa melakukan pemilu kalau masih ada sepak bola. Artinya, pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih ada catatannya. Demokrasi dengan catatan.

Saya yakin, penyebabnya adalah kurang gigihnya pengurus sepak bola dalam memperjuangkan dirinya. Pada masa lalu, ketika demokrasi belum sehebat dan sedewasa sekarang, sepak bola bisa berjalan lancar. Mengapa kian lama justru kian ada masalah?

Memang masalahnya, antara lain, juga ada di sepak bola sendiri. Pertama, sepak bola sudah sangat berbau politik. Pengurus sepak bola juga memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan politiknya. Pemilihan pengurus sepak bola memakai pertimbangan politik juga.

Kedua, kerusuhan-kerusuhan sepak bola tidak segera diatasi oleh masyarakat sepak bola sendiri. Tidak ada pemikiran yang mendasar untuk menyelesaikan persoalan itu.

Ketiga, tidak ada usulan yang baik kepada pihak keamanan agar pertandingan sepak bola tetap berjalan tanpa harus mengganggu jalannya pemilu.

Saya tidak tahu apakah organisasi sepak bola internasional membolehkan larangan bertanding oleh penyebab politik seperti itu. Seharusnya organisasi sepak bola internasional juga ikut menekan pemerintah Indonesia untuk tidak mudah membatalkan jadwal kompetisi dengan alasan yang kurang masuk akal. Bisa saja pengurus sepak bola Indonesia minta tolong pengurus internasional untuk perjuangannya itu.

Tapi, ya sudahlah. Larangan sudah keluar. Pengurus sepak bola sendiri juga sudah menerima larangan itu. Maka, sudah nasib sepak bola untuk sulit diperjuangkan menjadi olahraga yang punya masa depan yang gemilang. Kalau jadwal kompetisi saja bisa diintervensi demikian jauhnya, bagaimana semangat untuk bersepak bola bisa terus berkembang?

Mengurus sebuah klub sepak bola tidak gampang. Biayanya besar, tenaganya besar, dan tekanan batinnya juga dalam. Molornya jadwal berarti juga menggelembungnya dana.

Di lain pihak, kalau kita ingin bisa dikatakan semakin dewasa, pemisahan politik dari kehidupan di luarnya harus semakin nyata. Kini, antara politik dan bisnis sudah kian terpisah. Politik dan tentara sudah terpisah jauh. Kok malah politik dan sepak bola masih berhubungan begitu kentalnya.

Maka, seruan yang harus lantang diteriakkan adalah: bebaskan sepak bola dari politik!