Minggu, 29 Maret 2009

Sportivitas

Jangan salahkan sepak bola bila dalam bulan ini banyak karyawan yang

datang ke kantor dengan mata sembap, kekurangan darah seperti vampir

yang sedang diet.

Di sana para bintang dunia di lapangan hijau tengah beraksi, sehingga

teramat sayang untuk dilewatkan. Beruntunglah publik penggila sepak

bola di negeri ini. Semua tontonan gratis, kecuali tentu saja tagihan

listrik yang harus dibayar. Tontonan gratis ini sungguh bernas.

Penonton setia tidak hanya disuguhi permainan atraktif, pergerakan bola

yang fantastis, dan yang terpenting, sikap teladan dari para aktor di

lapangan.

Semua tunduk pada aturan permainan. Ingat penyerang ganteng Italia,

Luca Toni, yang golnya dianulir wasit saat melawan Rumania? Dalam

tayang ulang terlihat jelas bahwa Toni tidak berada dalam posisi

off-side. Artinya, gol itu sah. Coba andai saja Toni berlaku seperti

konstituen yang kalah dalam Pilkada di berbagai daerah. Dapat

diperkirakan, jidat sang wasit benjol kena kepruk. Namun nyatanya

tidak, ia menghormati keputusan wasit meski dengan hati yang dongkol

sebesar telor bebek. Inilah nilai luhur dari olahraga.

Setiap atlet yang bertarung menyerap semangat ini. Mereka menerima

kekalahan, juga menerima kemenangan. Semua sudah terwadahi dalam aturan

permainan. Andai hal itu tak mereka punyai, sangat mungkin pertandingan

sepak bola memakan waktu berjam-jam atau bahkan sehari penuh, karena

tim yang satu tak mau menerima kekalahan. Sepak bola adalah salah satu

warisan besar yang ditemukan manusia. Walau keras, toh semangat

sportivitas adalah segalanya.

Sportivitas pada mulanya memang lebih akrab untuk terminologi olah

raga. Pada hakikatnya, sportif adalah suatu sifat kesatria, mau

mengakui keunggulan pihak lain, menerima kegagalan dan kekalahan,

memahami dan mengerti perbedaan yang muncul, serta menjunjung tinggi

kejujuran dan keadilan. Namun kini, kata 'sportif' digunakan secara

umum, termasuk dalam dunia politik dan juga bisnis.

Tanggal 8 Juni 2008, di Museum Gedung Nasional Amerika, sebuah acara

penting berlangsung. Hillary Clinton, calon presiden dari Partai

Demokrat melakukan pidatonya yang bersejarah di hadapan dua ribu

pendukungnya. Hari itu, untuk pertamakalinya, Hillary Clinton mengakui

kekalahannya dari pesaing utamanya, Barack Obama sebagai nominasi calon

presiden Amerika dari Partai Demokrat. Dalam pidatonya, Hillary

mengatakan, "saya mendukung Obama dan memberikan

dukungan penuh kepadanya. Hari ini, saya mengucapkan selamat kepadanya

atas kemenangannya dan pertarungan luar biasa yang dijalaninya."

Senator Hillary tidak hanya mengakui kekalahannya, tetapi juga

mendukung penuh bagi kandidat presiden Amerika dari Partai Demokrat,

Barack Obama. Hillary menyatakan akan habis-habisan melakukan apa pun

agar Obama terpilih menjadi presiden. Sikap yang ditunjukkan Hillary

patut diacungi jempol. Hillary bukan hanya bersikap sportif, dengan

mengakui kekalahannya, tetapi juga berpikir ke depan untuk secara

bersama-sama dengan Obama, memenangkan pemilu

dari partai yang sama.

Sikap yang ditunjukkan Hillary, tak beda jauh ketika Al Gore kalah

dalam pemilihan presiden melawan penantangnya George W. Bush. Gore

kalah bukan karena telah selesainya hasil perhitungan suara dilakukan.

Mahkamah Agung Amerika akhirnya memutuskan sengketa perhitungan suara

yang terjadi.

Ketika tahu Gore akhirnya kalah dalam pemilihan presiden, dalam

pidatonya, Gore mengatakan bahwa ia baru saja menelepon Bush untuk

menyampaikan bahwa ia menerima kekalahannya dan mengucapkan selamat

atas terpilihnya George W. Bush sebagai Presiden Amerika ke-43. Di

bagian lain pidatonya yang cukup puitis, Gore menyatakan bahwa ia

sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Mahkamah Agung sehari

sebelumnya, yang memenangkan Bush sebagai Presiden, namun dia sangat

menghargai keputusan itu dan menerimanya. Bahkan Gore mengajak segenap

warga Amerika agar bersatu dan bersama-sama berdiri di belakang

presiden baru Amerika. Sungguh, suatu ajakan yang sangat simpatik

melihat betapa kisruh dan tegangnya selama 36 hari terakhir dalam

proses perhitungan suara pemilihan presiden sebelumnya.

Sikap sportif tak hanya berlaku bagi mereka yang kalah dalam suatu

pertarungan, tetapi juga sebaliknya. Anda masih ingat si leher besi

Mike Tyson? Mike Tyson merupakan petinju legendaris di zamannya.

Kemenangan Tyson sebagian besar dilakukan dengan memukul KO lawannya

sebelum pertandingan berakhir. Ketika Tyson menggulung lawan-lawannya,

tak ada apresiasi kemenangan yang gegap gempita dari Tyson. Setelah

meng-KO lawannya, Tyson cukup tenang, datar dan

menghampiri lawannya serta memberikan pelukan persahabatan yang hangat.

Seolah Tyson hendak mengatakan, ini hanyalah sebuah permainan.

Sikap sportif inilah yang harus dikembangkan dalam kehidupan

sehari-hari kita. Baik dalam lingkungan rumah, kantor, dunia bisnis

ataupun dalam dunia politik. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita

tunjukkan dengan bersikap jujur dan terbuka terhadap pasangan dan anak.

Mau menerima masukan, kritik, bahkan dari anak sekalipun. Serta, ini

juga yang penting, mau bertanggung jawab terhadap semua perbuatan yang

dilakukannya. Dalam dunia bisnis misalnya, menerima

kekalahan dalam proses tender. Atau mengakui keunggulan produk pesaing

yang ternyata memang lebih baik dan berkualitas.

Bagaimana dalam dunia kerja? Selalu ada kompetisi dengan aturan main

yang tak seragam di dunia kerja. Mulai dari cara yang paling halus,

hingga yang paling kasar sekalipun. Tetapi tetap saja, dalam menghadapi

kompetisi tersebut, Anda harus bersikap sportif. Sikap sportif dalam

pekerjaan, dapat Anda tunjukkan dalam kerjasama dengan rekan kerja

lainnya. Jangan pernah ragu untuk membantu rekan yang sedang menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan kerja pun, Anda

harus tetap saling menghormati atas setiap perbedaan yang muncul. Sikap

toleransi terhadap sesama rekan

kerja juga harus ditumbuhkan. Sikap ini merupakan bentuk penghargaan

terhadap setiap perbedaan kekuatan dan kelemahan. Diharapkan, dengan

sikap ini mampu menumbuhkan dan menggerakkan sikap sportif rekan kerja

lainnya.

Dengan mengembangkan nilai sportivitas bagi setiap individu, diharapkan

yang muncul adalah pribadi-pribadi yang tangguh. Pribadi yang unggul

dalam menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, keterbukaan dan

kebersamaan dalam kehidupan. Masalah-masalah bangsa ini sesungguhnya

dapat kita atasi secara maksimal dan optimal, bila semua pihak mau

bersikap sportif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar