Sepakbola adalah sebuah olahraga permainan yang selalu menarik
dimainkan dan ditonton. Tapi, apa yang telah ditunjukan Timnas
Indonesia pada pertandingan semifinal Piala AFC 2008, telah merusak
konsep dari arti sepakbola. Tim merah Putih yang datang ke Thailand
dengan modal kekalahan 0-1 di leg pertama yang dimainkan di Stadion
Utama Gelora Bung Karno, Selasa (16/12/2008). Pada leg kedua ini,
bearti Indonesia membutuhkan kemenangan minimal 2-0 untuk bisa melaju
ke final. Asa publik Tanah Air segenap membuncak setelah Nova
Arianto sukses memanfaatkan kemelut yang tercipta atelah tendangan
sudut dari Ismed Sofyan, pada menit 9 babak pertama. Unggul 1-0 belum
membuat Indonesia mendapat tiket ke laga pamungkas, dan Charis
Yulianto dkk, mebutuhkan satu gol tambahan untuk menegaskan
keunggulan. Tapi apa lacur. Yang terjadi kemudian adalah sebuah
sirkus sepakbola dan aktor-aktor yang pandai berakting ketimbang
memainkan si kulit bundar. Thailand yang berada dalam situasi
kurang menguntungkan tetap pada ritme permainan cantik ala Premier
League. Tim asuhan Peter Reid ini bermain sabar dalam membongkar
pertahanan Indonesia serta tidak memberikan kesempatan lawan memegang
bola. Di 45 menit babak pertama, Indonesia masih bisa bertahan
dengan ?baik'. Kata baik ini adalah cara bertahan asal-asalan yang
ditunjukan barisan belakang tim asuhan Benny Dollo ini. Setiap
terjadi benturan, pemain Indonesia kerap terjatuh dan cedera. Strategi
ini memang sering diterapkan sebuah tim dalam pertandingan sepakbola,
meskipun itu di level dunia. Tapi, ini baru babak pertama. Sebuah tim
sekelas Italia melakukan akting seperti ini jika pertandingan memasuki
menit akhir, bukan di tengah pertandingan. Sementara Indonesia
sibuk bertahan, Thailand masih dengan kualitas permainan prima.
Puncaknya terjadi di menit 72. Sebuah umpan silang Dangda memanfaatkan
kelengahan sektor kanan pertahanan Indonesia, disambut dengan
tendangan keras Teerathep Winothai. Skor 1-1 sudah cukup bagi Tim
Gajah Putih untuk melaju ke final. Sebaliknya, tugas Indonesia semakin
berat. Mental untuk menang sangat dibutuhkan pada situasi seperti ini.
dan ini yang tidak dimiliki pasukan Merah Putih. Thailand malah
menambah satu gol melalui Ronnachai Rangsiyo, dua menit sebelum
bubaran. Habis sudah kesempatan Indonesia mencicipi partai final Piala
AFF. Kekalaha ini terjadi bukan karena permainan Thailand yang
istimewa, melainkan cara bermain Indonesia yang salah.
Sudah lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana
sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan,
dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban
itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil,
Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak
pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.
Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun
sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan
yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya
mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih
berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur
atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI
selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur
dimaksud. Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan
barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook,
atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya
popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator.
Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola
secara teoritis dan analitis. Sebab itu, seperti halnya sebuah
kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus
menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat
jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan
jujur, bertahap dan hidup. Untuk membangun kultur sepakbola
itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula.
Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya
akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih
baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa
rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan
sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan
ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil,
Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi
juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri. Dalam konteks kecil dan
lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya
telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal
yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS
termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM
Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM
Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya. Namun, meski muda, PSS
mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat
sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti
sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan,
kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di
Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua
divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah
PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA. Maka, tak pelak lagi, PSS
kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di
Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan
mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan
jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.
Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah
bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar,
atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya
untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari
kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi.
Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan
pembina #terlihat begitu tinggi. Meski belum optimal, PSS
akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS
sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi
langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper
Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih
memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran
elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI). Perjalanan PSS yang
membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu
terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun
1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS
bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini
berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di
kompetisi-kompetisi sebelumnya. Dengan kata lain, PSS mengorbit di
Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses
panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola
akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan
yang mengandalkan ketebalan duit. Dan memang benar, setelah
bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru
yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di
Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya.
Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan
M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan
pemain berpengaruh dalam tim. Pada penampilan perdananya,
PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan,
PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1. Bahkan,
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada
di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada
Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan,
“Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita.”
Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa)
kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo. Saat itu, Ibnu Subianto
menjawab, “Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga
hitam.” Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan.
Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih
mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu.
Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini
menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat
tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya
karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi
korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di
urutan pertama. Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan
Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya
kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu
tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu
kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS
sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang. Pembinaan
sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu
berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.
Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup
kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi.
Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI. Apa
yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di
Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di
kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan
sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran
jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki
ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di
Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup
kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau
Persebaya. Semoga!PRIDE PSS 1976
Rabu, 18 Maret 2009
Sepakbola Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar